Gadis Rambut Merah Part 33

Gadis Rambut Merah Part 33
BONUS CHAPTER 2
Setelah kejadian di Kafe itu, Hiro memberitahukan keluarganya bahwa ia telah bertemu denganku. Hiro pun menikah denganku di Seoul. Aku sebenarnya sangat malu dengan keterabatasan yang aku punya ini. Dan sebenarnya aku pun tak berharap Hiro melihatku dengan tubuh seperti ini. Tapi dia selalu meyakinkanku, “Aku mencintaimu apa adanya.” Itulah yang selalu aku dengar dari mulutnya.
Seminggu setelah pernikahan kami aku dan Jung Han-Jeong dibawa ke Indonesia. Han-Jeong senang akhirnya dia punya ayah. Mereka berdua pun sudah akrab seolah-olah sudah mengenal satu sama lain dalam waktu yang lama. Aku sendiri bahagia dengan hal ini. Dari pancaran mata Hiro, aku bisa melihat kebahagiaan darinya.
Di Indonesia, aku berdebar-debar bagaimana mereka akan menyambutku. Bagaimana Tuan Hendrajaya akan menyambutku? Aku pun jadi galau. Turun dari pesawat pribadi milik keluarga Hendrajaya, aku pun mendapati sebuah karpet merah. Aduh, ini sih berlebihan. Yang menyambutku adalah kedua mertuaku, kakak ipar dan adik-adik iparku. Entah kenapa aku berkaca-kaca hari itu, aku pun terharu.
“Jung Ji Moon, welcome again,” kata Tuan Hendrajaya.
“Moon? Selamat datang di keluarga kami,” kata Nyonya Hendrajaya. Keningku dicium olehnya. Aku pun menangis. “Kenapa menangis?”
“Aku baru saja kehilangan ibuku, dan sekarang aku punya ibu lagi,” kataku.
Aku dipeluk oleh ibunya Hiro ini, “Sudah, sudah, sudah, iya. Aku akan jadi ibumu setelah ini. Kamu akan aku anggap sebagai anakku sendiri.”
Setelah itu saudara-saudaranya Hiro menyambutku. Aku sedikit tersenyum dengan kehadiran keponakanku Hana yang masih kecil. Dia selalu tersenyum ketika melihatku.
Han-Jeong digendong oleh Hiro.
“Mas, nih! Anakku nih!” kata Hiro.
“Hah? Sudah punya anak kalian?” tanya Faiz jr. “Hmm…nakal juga ya kalian ternyata.”
Aku dan Hiro tertawa.
“Han-Jeong, sapa dong,” kata Hiro.
“Heokseo,” kata Han-Jeong. “Apa kabar?”
“Baik, iihhh…imutnya sini, sini aku gendong,” tampak Devita berusaha merebut Han-Jeong dari Hiro. Tapi Han-Jeong tak mau.
“Hihihi, nggak mau lepas dari papanya,” kata Hiro.
“Yuk, ke rumah,” ajak Tuan Hendrajaya.
Kami pun keluar dari Bandara Halim menuju ke rumah Hiro. Selama perjalanan tampak Han-Jeong sangat bersemangat. Ia tak sabar melihat rumah barunya. Ketika kami melewati sebuah hotel yang pernah kami buat check-in, Hiro kemudian berbisik, “Disitu ya tempat kita buat Han-Jeong?” katanya sambil menjulurkan lidah.
“Kenapa? Kepingin lagi?” tanyaku.
“Kalau kamu nggak keberatan,” katanya.
“Aku sih nggak,” kataku.
“Ngomong-ngomong, semenjak menikah aku belum pernah…,” Hiro tak melanjutkan.
“Belum apa?” tanyaku pura-pura tak tahu.
“Kamu masih belum siap?” tanya Hiro balik.
Aku tak menjawab. Aku takut. Aku masih belum siap disentuh Hiro. Aku takut ia tak suka melihatku yang hanya punya sebelah kaki. Dia lalu memelukku.
“Kalau kamu belum siap tak apa-apa,” katanya.
“Maafkan aku Hiro,” bisiknya. “Aku belum bisa jadi wanita yang sempurna untukmu.”
“Eomma, wae sogsag-ineun? (Ibu, kenapa kalian berbisik-bisik)” tanya Han-Jeong.
“Gwaenjana (Tidak mengapa),” kataku.
Hiro memelukku erat dan mencium keningku.
Tak berapa lama kemudian kami sudah sampai di rumah Hiro. Hmm…rumahnya beda. Tentu saja dulu kan aku nginapnya di rumahnya Faiz junior. Ini adalah rumah Hiro yang sebenarnya. Besar sekali. Aku bahkan mengira ini itu puri bukan rumah. Halamannya luas melingkar. Tapi bentuknya mirip dengan rumahnya Faiz junior. Ada kolam ikan di halaman depan.
“Kak Moon, selamat datang di rumahku,” kata Rara.
“Turun bentar yuk, habis itu kita pulang,” kata Hiro.
“Lho, kita ndak tinggal di sini?” tanyaku.
“Nggak dong, inikan rumahnya ayah, aku sudah beli rumah khusus untuk kita berdua,” kata Hiro.
Mungkin karena hidup dengan kesederhanaan selama ini, aku menganggap rumah Hiro ini terlalu besar untuk aku tinggali. Tapi kalau dia mengatakan punya rumah untuk kita berdua, aku semakin penasaran. Setelah turun dari mobil, maka kami pun masuk ke rumah itu. Benar sekali sangat besar. Aku tak menyangka Hiro tinggal lama di sini. Dari kecil sampai dewasa.
Hari itu aku dijamu seperti putri raja. Aku senang sekali mengetahui bahwa ternyata mereka menyambutku hangat. Setelah ramah tamah dan makan siang, akhirnya aku dan Hiro serta Han-Jeong pun pergi dengan diantar sopir ke rumah kami yang baru. Dan….aku terkejut. Benar-benar tak menyangka. Rumah Hiro lebih kecil daripada yang aku sangka.
“Kamu tak salah?” tanyaku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Beda jauh sekali dengan rumah orang tuamu,” jawabku.
“Aku memang mampunya segini koq. Ini aku beli dengan kerja kerasku. Selama kuliah aku juga mengumpulkan uang. Sebab keluargaku tak pernah memberikan uang yang lebih, untuk makan aku harus cari sendiri. Kecuali keperluan lain yang berhubungan dengan kuliah maka ayahku memang akan memberikanku uang. Dan aku juga tak menyangka bisa punya rumah ini dengan hasil kerja kerasku sendiri. Ah, dibandingin gajimu sebagai agen, pasti ini tak seberapa,” kata Hiro.
“Sejujurnya uang pensiunnya aku gunakan untuk merawat Han-Jeong. Aku sudah bekerja juga sebagai penjual bunga di tempatnya Bae,” kataku.
“Oh iya, kamu sudah cerita, maaf,” kata Hiro.
“Nggak apa-apa, Han-Jeong gaja!” aku ajak Han-Jeong. Dia lalu keluar dulu. Hiro membantuku memakai kursi roda. Kulihat sebuah mobil di garasi. Mobilnya MPV.
“Mobilmu?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya.
“MPV? Aneh deh, biasanya kamu seneng banget naik sedan. Kenapa beli MPV?” tanyaku.
“Kan kita nanti mau punya banyak anak, ya wajar dong gedhe mobilnya,” kata Hiro nyengir.
Aku menggeleng-geleng.
“Oh iya, langsung kembali saja pak, sampai sini aja,” ujar Hiro ke sopir yang mengantarnya tadi setelah barang-barangku dikeluarkan.
Iya, rumahnya kecil, tapi tidak kecil banget sih. Tipenya mungkin tipe 54. Ada empat kamar, ruang keluarga, ruang tamu tak ada lantai dua, semuanya satu lantai. Halamannya juga luas. Terlihat masih belum ditanami apapun.
Inilah tempat tinggalku sekarang. Suka atau tidak, aku akan tinggal di tempat ini.
****
Malam pun berlalu. Han-Jeong sudah tidur di kamarnya. Sepertinya ia kecapekan. Aku berdiri satu kaki dengan bantuan tongkat. Aku melihat diriku dicermin. Tubuhku terlihat kurus ya ternyata. Aku hampir tak pernah melihat diriku sendiri di cermin. Hiro masuk ke kamar. Dia memakai kaos dan celana pendek. Oh iya, aku lupa kalau kami akan tidur satu ranjang malam ini. Aku masih malu dengan tubuhku. Hiro berdiri di belakangku.
Ia menarik pelan tongkatku.
“Jangan Hiro!” kataku.
Aku ditangkapnya. “Sudah aku bilang, kalau kamu tak punya kaki aku akan jadi kakimu.”
“Tapi….,” bibirku sudah dikecupnya. Diletakkannya tongkat itu bersandar di lemari. Aku lalu digendongnya dan dibaringkan di atas ranjang. Aku memejamkan mataku menikmati setiap cumbuan bibirnya. Aku sudah lama tak mencium pangeranku ini. Kemudian dia lepaskan. Dia mengusap-usap rambutku. Aku waktu itu memakai piyama tidur yang tipis. Bahkan aku tak memakai bra. Hiro bahkan bisa melihat putingku yang menonjol.
“Kamu sudah siap?” tanyanya.
“Hiro, jangan marah kepadaku ya,” kataku.
“Aku tak marah koq,” katanya.
“Maafkan aku, aku masih tegang. Aku belum siap,” kataku.
“Baiklah tak apa-apa,” katanya.
Kami berpandangan lama sekali dan saling membelai wajah kami. Lama-lama bibir kami bertemu lagi, kali ini ciumannya sedikit lama. Dan Hiro meremas payudaraku. Jemarinya itu menggelitiki putingku. Dan birahiku pun naik. Hiro paling tahu cara menaikkan birahiku.
“Hiro….,” keluhku. “Aku malu Hiro.”
“Tak perlu malu, please biarkan aku memberikan cintaku kepadamu malam ini,” kata Hiro.
Oh, aku tak bisa menolaknya. Aku hanya memejamkan mataku. Hiro sudah melepaskan kancing piyamaku satu persatu. Dan dia langsung mengenyot payudaraku. Ohh…Payudaraku dipilinnya dengan bibir. Lebih lagi ia menghisap-isap. Ohh…aku sudah lama ingin merasakannya. Hiro mulai melepaskan piyama atasku. Lalu turun dia mulai mengelamuti perutku bagian bawah. Ahh…lidahnya mulai menarinari di sana. celana piyamaku pun dilepasnya. Tidaaaaaakk…..Hiro aku malu kamu melihat kakiku.
Aku lalu membuka mataku. Hiro ternyata sudah telanjang. Dan…dia mengangkat paha kananku. Dia melihat kaki kananku yang terpotong itu. Sebuah kerutan-kerutan di bekas potongannya. Ia amati seksama kerutan-kerutan itu. Aku meneteskan air mata, tapi…dia….menciumnya. Ohhh…Hiro…jangan…
“Jangan Hiro!…” pintaku.
“Tak apa-apa, aku mencintainya. Mencintai sepenuhnya apa yang ada pada dirimu,” kata Hiro.
Entah kenapa kata-katanya itu merangsangku. Aku pun basah. Hiro terus menciumi bagian kakiku yang terpotong itu. Hiro, tahukah kamu. Aku saat ini sangat gembira? Gembira sekali bahwa kamu mau menerimaku apa adanya? Aku bisa melihatnya kamu sangat mencintaiku. Mau menerimaku.
“Hiro, aku siap, masukkan! masukkan!” pintaku.
Ia mengerti.
Ia angat kedua paha kakiku ke atas. Penisnya sudah ditempatkan tepat di bibir kemaluanku. Aku bisa melihat semuanya. Aku tak akan malu lagi kepada Hiro. Sebab dia mencintaiku, sangat mencintaiku.
“Kamu basah sekali Moon,” katanya.
“Iya,” kataku.
Perlahan-lahan Hiro mulai masuk. Kemaluanku pun rasanya geli dan nikmat. Oh tidak, aku serasa ditusuk oleh sesuatu yang lembut dan nikmat sekaligus. Hiro pun bergoyang sambil menindihku. Mata kami saling berpandangan. Lalu berciuman. Aku kembali merasakan ditusuk lagi oleh daging keras miliknya. Urat-uratnya masih seperti dulu, menggelitik rongga kemaluanku. Dan di dalam rahimku kurasakan kepala penisnya menggelitik, memberikan efek yang luar biasa. Sukar kuungkapkan dengan kata-kata.
Hiro pandai memberlakukan aku. Ia tak terburu-buru. Digoyangnya pantatnya dengan lembut. Kami saling menikmati bercinta seperti ini. Saling melumat, dan saling menekan selakangan kami. Punyaku sangat becek. Dan Hiro mulai nakal. Dia menghisap leherku. Ahhh…..reflek kemaluanku menjepit penisnya.
“Aahhh…Mooon!” keluhnya. Dia tak menghentikannya malah mengulanginya lagi. Dan kini ia hisap yang lama leherku. Membuat aku menggoyang-goyangkan pantatku dan kemaluanku makin menjepit penisnya. Ia pasti merasakan ngilu-ngilu nikmat.
Ia lalu menyudahinya. “Aku tahu semua titik sensitifmu. Kamu hampir ya?”
Aku mengangguk dan tiba-tiba ia bergoyang agak cepat. Aaaahhkkk…Dan jebollah pertahananku. Kutekan pantatku ke atas. Aku menggeliat ingin kemaluannya terus masuk ke dalam. Lalu aku lemas sambil terus memeluknya. Ternyata Hiro tak merubah posisinya.
“Aku lebih suka dengan posisi ini sebenarnya. Karena aku bisa melihat wajahmu,” kata Hiro. “Aku ingin melihat wajah bidadariku terus.”
“Ohh…Hiro..,” keluhku. Kuciumi wajahnya. Ia menggoyang lagi.
Hiro menggenjot dengan irama pelan, tapi ia sengaja menyentuhkan pangkal kemaluannya hingga bergesekan dengan klitorisku. Aku pun ingin melayang rasanya. Penuh sekali penisnya masuk. Aku mencoba untuk rileks, ya sangat rileks. Dan…hanya dengan beberapa kali genjotan kembali pantatku bergetar orgasme.
“Hirooo…aku keluar terus,” kataku mengeluh. “Sudah Hiro, aku capek.”
Tapi Hiro tak mempedulikanku, kali ini dengan jurusnya menjilati dan menghisap ketiakku. “AAAAAARRHHHH!” aku menjerit. keluar lagi deh…aku makin malu. ia pasti melihat wajahku memerah.
“Banjir banget kamu,” katanya.
“Kamu nakal,” kataku. “Aku capek Hiro, terserah deh kamu mau ngapain.”
Dengan tiba-tiba Hiro menggenjotku cepat sekali. Aku pun mulai keenakan lagi. Padahal baru saja aku tiga kali orgasme. Kami berciuman hangat, Hiro nafasnya mulai memburu. Kemaluannya makin keras dan ia pun keluar. Kulihat ke bawah. Kemaluannya ia benamkan sedalam-dalamnya. CROOOTTT! CROOTTT! CROOOTT! Spermanya memancar berkali-kali. Banyak dan panas. Rahimku serasa hangat disiram olehnya.
Ia lalu bergeser ke samping setelah tak ada lagi yang ia keluarkan. Ketika dicabut muncul bunyi CPLUK! Kulihat kemaluannya mengkilat terkena campuran lendir kami berdua. Aku sungguh beruntung punya suami yang tak malu dengan cacatnya sang istri. Aku lalu memeluknya. Kali ini aku tidur tanpa busana lagi setelah terakhir kali melakukannya beberapa tahun yang lalu. Hiro you are my Hero.
****
Dan frekuensi sex kami meningkat. Hampir tiap hari Hiro menggarap aku. Setiap malam dan setiap tidak diketahui oleh Han-Jeong. Dan akhirnya jadi lagi deh. Sebulan aku tak haidh dan mual-mual. Itu pertandanya. Hiro bahagia banget. Dia selalu pulang cepat tak pernah kerja lama-lama di kantor. Han-Jeong juga bahagia punya ayah. Dia mulai menyesuaikan diri dengan bahasa Indonesia. Tapi ia bisa belajar cepat koq.
Hiro, terima kasih atas semuanya. Engkau memberikanku kehidupan. Memberikanku cinta yang aku tak mungkin bisa membalasnya.
Suatu waktu, setelah Hiro berangkat kerja dan Han-Jeong pergi sekolah. Ada tamu. Aku memperkerjakan seorang pembantu sekarang. Orangnya termasuk ornag yang tekun bekerja dan aku suka. Dia membuka pintu dan langsung menemuiku yang saat itu sedang meninabobokan anak keduaku Ivan.
“Maaf nyonya, ada tamu,” kata pembantuku.
“Siapa ya?” tanyaku.
“Namanya Yunita,” jawab pembantuku. Aku kemudian dengan memakai tongkat berjalan ke ruang tamu. Dan di pintu sudah ada seorang gadis cantik, rambutnya agak berombak. Dia melihatku. Sebuah senyum tersungging di bibirnya.
“Hai, Moon?” sapanya.
“Yunita…?? Yunita siapa ya?” tanyaku.
“Aku dulu temannya Hiro, masih ingat?” tanyanya.
“Astaga iya, aku ingat,” kataku. Tentu saja aku ingat. Dia alasan Hiro berubah. Dan alasan aku mengajarkan bagaimana menjadi lelaki sejati kepada Hiro. Dia orang yang dulu disukai Hiro. “Ayo, Masuk!”
Yunita pun masuk. Melihatku memakai tongkat ia sedikit terkejut.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
“Ah, nggak apa-apa, kecelakaan,” jawabku.
Yunita tiba-tiba memelukku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Maafin aku ya Moon, maaaaaf banget,” katanya. Ia lalu menciumi pipiku dan keningku.
“Ada apa sih?” tanyaku.
Kami lalu duduk bersebelahan.
“Selama ini aku sudah jahat ama kamu. Berusaha merebut Hiro darimu. Bahkan seberapapun aku mencoba agar Hiro tertarik kepadaku tak ada hasilnya. Di dalam hatinya ada kamu, selalu ada kamu,” kata Yunita. Tapi ia bicara dengan wajah yang cerah. Seolah-olah apa yang dibicarakannya itu sangat tulus. “Hiro mengajariku untuk mencari cinta yang sejati. Sekarang aku tahu, kenapa Hiro sangat mencintaimu. Dan aku harus mengalah sekarang. Akhirnya alasan itu sudah aku dapatkan, kenapa ia tak pernah bisa melupakanmu. Itu semua karena ini Moon.” Yunita menunjuk ke dadaku.
“Maksudnya bagaimana?” tanyaku.
“Engkau telah mencuri hatinya sejak lama, karena itulah ia tak bisa melupakanmu,” katanya. “Dan ini, aku berikan kamu undangan pernikahanku.”
Aku mengangkat alis sambil menerima sebuah undangan. Ada nama Yunita dan nama Rosi. “Waaah…selamat ya!”
Yunita mengangguk. “Datang ya Moon. Semoga kalian hidup bahagia. Dan aku tak menyesal menyuruh Hiro untuk ke Seoul mencarimu.”
Aku tersenyum. Iya, aku berterima kasih kepadamu Nit. Terima kasih.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂