Kerja atau Sex Part 15

Kisahmalam Kerja atau Sex
Kerja atau Sex Part 15
The Past and the Presence
Rabu, 20 Mei 2015
Handphoneku berdering, nama Bang Andre muncul di layarku, sepertinya dia sudah menemukan informasi yang kuminta padanya. Aku memintanya menemukan informasi mengenai Elly, aku telah mengirimkan foto dan nama lengkapnya, dan sepertinya dia telah berhasil.
“Mr T, Aku sudah menemukan yang kau minta, kita ketemuan di café XxX bentar jam 1900”, jawabnya singkat dan jelas.
“Baik”, pembicaraan kami pun berakhir.
***
Kami duduk di sebuah pojok café, susana yang tenang, tidak banyak orang di sini. Aku dan Bang Andre telah memesan minuman kami, dan telah tersaji di hadapan kami. Bang Andre lalumengeluarkan sebuah amplop coklat besar berisi dokumen. Dia menyerahkannya kepadaku, aku segera membuka dokumen tersebut, aku ingin tahu dengan segera siapa Elly sebenarnya.
“Kau mungkin tidak akan percaya, siapa gadis itu sebenarnya!”, kata Bang Andre, dan dari raut wajahnya dia tampak gembira dan serperti tidak percaya juga, dia tersenyum melihatku.
Aku membaca dokumen-dokumen itu dengan seksama, semua dokumen yang ada di hadapanku ini adalah dokumen perubahan identitas dan dokumen penetapan perlindungan dari kepolisian, dan semua pemindahan rumah dan perubahan identitas ini di biayai oleh Ayahku!
Nama Asli Elly adalah Inggrid! Nama ini, nama ini begitu familiar, nama ini lah yang telah mengubah hidupku, dia adalah orang yang telah mengubah hidupku, dan aku adalah orang yang telah mengubah hidupnya.
***
Tahun 2006, malam pergantian tahun menuju 2007. Ketika itu aku baru saja kelas XI (2 SMA), suatu malam aku sedang berjalan sehabis pesta dengan teman-temanku, saat itu masa remajaku dipenuhi dengan foya-foya, aku tidak mempedulikan apapun, kerjaku hanya latihan bela diri dan pesta, awalnya aku latihan beladiripun hanya untuk berantem dengan orang yang berani melawanku. Tapi kejadian malam itulah yang mengubah seluruh hidupku.
Sejak SMP aku sudah terbiasa minum minuman keras, karena teman bergaulku ada yang memiliki club malam, walau usia kami belum cukup kami sudah bebas keluar masuk dari clubnya. Mengendarai mobil dengan kencang dan ugal-ugalan juga sudah menjadi hal biasa bagi ku. Malam itu, aku masih ingat adalah pesta pergantian tahun dari 2006 ke 2007, aku dan teman-temanku baru saja bubar pesta pukul 0300 dini hari.
Aku melewati suatu daerah perumahan, cukup sepi, daerah perumahan itu menengah ke ataslah. Aku melihat ada beberapa orang sedang berkumpul di depan jalan masuk kompleks, beberapa anak SMA, mungkin kelas 3 dan kelas 1 SMA dan ada beberapa yang lebih tua, mungkin seusia kuliahan. Terlihat mereka sedang cekcok, dan sepertinya saling dorong. Aku membawa mobilku cukup lambat karena aku merasa aku sudah cukup banyak minum, aku tidak ingin mati muda jika berkendara terlalu kencang.
Diantara mereka ada seorang gadis yang terlihat sudah di papah oleh seorang yang sepertinya anak kuliah tadi, dan kelompok anak kelas 1 itu sepertinya ingin meminta gadis itu. Aku menepi, karena aku merasa aku akan muntah. Saat aku menepi, aku sekitar 10 meter telah melewati mereka. Kepalaku terasa berat dan sempoyongan. Tiba-tiba perkelahian itu terjadi, dan anak-anak yang bertubuh kecil itu babak belur dan terkapar di aspal.
Kelompok yang satu kemudian membopong gadis itu menuju kedalam kompleks, sambil tertawa meninggalkan mereka yang telah terkapar. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka tapi ini bukan urusanku, gadis itu seperti berusaha melepaskan diri dan lari, tapi masih di pegangi oleh para lelaki itu. Aku tahu ini bukan urusanku, aku tahu aku tidak usah mencampuri urusan orang lain, tapi kaki ku malah melangkah mengikuti mereka.
Sampai disebuah rumah yang cukup mewah, mereka membawa gadis itu masuk, dan membaringkannya di taman rumah itu, gadis itu berusaha melawan dan berteriak, tapi dia di tampar dengan keras. Suaranya lalu menghilang dan dia terdiam sejenak, kulihat laki-laki itu mulai membuka baju mereka, aku tahu ini bukan hal yang bagus, dan seberengsek apapun diriku dulu, ini tetap salah!
“BRAK!!!” ku tendang pagar rumah itu, mereka semua lalu berbalik melihatku.
“LEPASKAN DIA!”, aku berjala mendekati mereka, deg deg deg deg, terasa detak jantungku bergemuruh di telingaku, pengaruh alkohol dan adrenalin membuatku tidak takut lagi pada mereka, walau mereka banya, aku tidak jelas berapa jumalah mereka, yang jelas aku kalah jumlah, dan itu tidak menyurutkan niatku, dan ini pun sudah terlambat.
“Ada yang sok jago”, salah satu dari mereka langsung berlari dengan mengayunkan kepalannya padaku, dengan mudah kuhindari, tapi tubuhku yang masih dalam pengaruh alkohol membuatku kesulita, kakiku sedikit tidak stabil dan aku harus mengambil beberapa langkah lebih untuk menghindar dan jarakku terlalu jauh untuk melayangkan pukulanku.
Seorang lagi telah datang padaku dengan melompat, dia berusah menendangku, dan berhasil ku hindari, aku sedikit sempoyongan berusaha menghindari serangan berturut-turut ini, orang ketiga datang dengan cepat dari depanku, dia memegang kerah bajuku, aku terlambat menghindarinya. Sebenarnya dengan dia memegangi baju tubuhku jadi lebih seimbang.
Aku lalu mengunci tubuhku, menarik nafas dengan cepat dan memasang sanchin–dachi, dan melontarkan pukulan lurus ke dagunya, menumbangkannya sekali pukul. Seorang datang dari kiri dengan cepat aku berganti menjadi shiko–dachi, aku menangkis serangannya di atas kepalaku, dan melayangkan kepalanku ke uluh hatinya.
Seorang datang dari belakangku, dia belum cukup dekat, aku memusatkan dachi-ku, pada kaki kanaku dan memutar tubuhku, mendaratkan satu tendangan tepat di wajahnnya dengan kaki kiriku, menerbangkannya.
Tubuhku telah penuh dengan adrenalin, rasa mabuk dari tubuhku seolah menghilang, tubuhku sudah dalam keadaan siap, dan siap untuk bertarung. Mereka menyerangku dari berbagai arah, kiri kanan dan depan. Aku harus mengambil jarak dari mereka, aku mundur kearah kanan, beberapa langkah, membuat jarak mereka berubah, sehingga yang menyerang dari kiriku akan terhalang oleh yang datang dari tengah, aku mengayunkan pukulan kanan pada lelaki sebelah kanan mendarat tepat di rahangnya, dan membuatnya langsung tersungkur, lengan kiriku dengan cepat melayang menghantam tenggorkan pria yang ditengah.
Belum sempat aku menarik lengan kiriku kembali, sebuah belati telah menancap masuk ke bawah lengan kiriku, diantara susunan tulang rusukku, belati itu sepertinya mengai rusukku dan berbelok ke bawah. Menembus cukup dalam, rasanya nafasku hilang, belati itu tembus hingga rongga dadaku, untung tidak cukup dalam untuk melukai paru-paruku.
Aku menarik lengan kiriku mengayunkannya, mengenai wajah si pria yang menikamku dan ku berikan dia tendangan tepat di wajahnya sekali lagi. Ku lihat di sekitarku tidak adalagi yang berdiri, semua telah jatuh tersungkur. Gadis itu masih menangis terduduk, dia meringkuk ketakutan. Aku mencabut belati itu dan mendekatinya, dia masih takut dan menepis tanganku.
Gadis itu sepertinya masih 15 atau 16 tahun, masih sangat belia, aku menggendong tubuhnya, dia ketakutan dan dia menangis terisak-isak, dia menatapku dan terus menangis.
“Jangan khawatir, aku akan menjagamu!”, kataku berusaha menyakinkannya, walaupun tubuhku sendiri mulai merasakan sakit, dan perih dari tikaman tadi. Aku akan membopongnya keluar hingga ke mobilku. Tubuhku terasa sangat sakit, rasa nyeri dan panas itu seoleh menyebar ke seluruh rongga dada kiriku, setiap tarikan nafsku, setiap langkah kakiku, terasa menyiksaku. Nafasku menjadi pendek dan terngah-engah.
Akhirnya kami tidak di mobil, teman-temannya yang tadi sudah tidak ada, apakah mereka lari untuk lapor polisi atau apa aku tidak tahu, yang pasti aku harus membawa gadis ini kerumah sakit dan aku juga harus segera kerumah sakit. Aku dudukkan dia di jok belakang dan aku segera memacu mobil ku menuju rumah sakit terdekat, aku sudah lupa rasanya berkendara sekencang itu, aku mendaratkan mobilku tepat di depan ugd, di atas trotoarnya, karena aku sendiri hampir kehilangan kesadaran, darahku begitu banyak yang keluar, telah membasahi baju, celana dan jok mobilku.
“Ko, kau tidak papa?”, dia ketakutan sekaligus khawatir ketika melihat begitu banyak darah yang keluar dariku. Aku membunyikan klakson panjang agar pertugas segera datang, aku juga membuka kunci pintu mobilku, dan jendela. Aku sudah di ambang daya tahanku, aku sudah tidak berkata-kata lagi, aku hanya bisa mengacungkan jempolku pada gadis itu memberikan tanda jempol, dan semuanya gelap.
***
Aku terbangun, di ranjang rumah sakit, Ayah ku dan Ibu ku sedang duduk menungguiku, mereka tampak sangat khawatir padaku. Mereka sangat sibuk dengan pekerjaan mereka, dengan bisnis mereka, tapi aku tahu mereka sangat menyayangi aku dan kakakku.
“Ni qi lai le? <kamu sudah bangun?>”, keluarga kami memang terbiasa menggunakan bahasa mandarin dan Indonesia untuk berbicara satu dan lainnya. Aku hanya bisa mengangguk, bibirku terasa kering dan mataku masih terasa berat.
“Wo men hen dan xin, dang shi ni juo de dui, ni jiu le na ge ni hai zi <kami sangat khawatir, tapi yang kau lakukan itu betul, kau telah menyelamatkan gadis itu>”, terlihat raut wajah bangga di wajah ayahku ketika mengucapkan hal itu, dan aku hanya bisa tersenyum bahagia melihatnya bangga padaku.
“Bagamana gadis itu?” tanyaku kepada ayahku, dia menahanku tetap untuk berbaring, sambil menepuk bahuku.
“Huang xin <tenang>, Papa sudah atur orang jaga dia di sana, sudah suruh orang juga untuk cari tau apa yang terjadi semalam”, dia berusaha menangkanku.
“Aku yang akan menginap, untuk menjaganya”, Kakakku, terlihat baru datang membawa sebuah tas penuh dengan pakaian. Dia sangat senang melihatku sudah sadar dan sudah terlihat lebih baik dari pada kemarin ketika dia pertama melihatku di rumah sakit.
***
Masalah ini ternyata melibatkan salah satu anak pejabat di daerah kami, keluarga Inggrid, gadis itu untuk sementara di ungsikan ke salah satu rumah kami dan terus di jaga oleh orang ayahku, mereka dipastikan aman oleh ayahku dan beberapa orang kepercayaan keluarga kami. Penangkapan bisa dilakukan dengan segera, tapi persidangan kami yang menjadi masalah.
Teman-teman Inggrid malam itu tidak ada yang mau menjadi saksi, mereka semua mengatakan tidak tahu apa yang terjadi dan mengatakan mereka tidak ada di sana saat kejadian, para pengecut itu tidak berani membela teman mereka. Kurangnya saksi dan tidak bisanya ayahku melakukan intervensi, membuat kondisi ini dead lock, ayah ku tidak bisa berbuat banyak karena kami melawan pejabat korup itu, dan dia juga tidak bisa terang-terangan mengusik ayahku, karena beliau cukup berpengaruh di kotaku.
Persidangan atas pemerkosaan dan penganiayaan ini berlangsung alot dan jelas memihak kepada para penyerang itu, mereka medapat dukungan politik dibelakangnya, susah bagi ayahku untuk mengintervensi hal ini, hakim, jaksa dan semuanya terlibat dalam hal ini, pengacara kami juga sepertinya tidak cukup handal mengobal bukti yang ada, hal ini juga cukup membuatku berang.
Aku yang saat itu hadir dipersidangan, dan harusnya bersaksi di ragukan kesaksiannya karena masiih di bawah umur dan terbukti di bawah pengaruh alkohol. Hal ini membuatku kecewa, aku marah dan geram, hasil visum telah membutikan bahwa belati itu milik mereka tapi di abaikan dalam persidangan, bahkan ketika pembacaan putusan alat bukti itu seolah hilang.
Para tersangka itu di bebaskan dari segala tuntutan karena kekurangan bukti dan saksi, hal ini membuat keluarga Inggrid takut. Aku jelas naik pitam di sana, aku mengamuk sejadi-jadinya di ruang persidangan, butuh empat petugas keamanan untuk membawaku keluar dari ruangan itu.
“AKU BERSUMPAH PADA LANGIT DAN BUMI, BAHWA AKU AKAN MENJADI PENEGAK HUKUM!!!”, aku berteriak dengan lantang, sebelum mereka melemparku keluar dari ruang persidangan.
Setelah persidangan dan putusan itu, keluarga Inggrid dan keluargaku mendapatkan terror, yang kami tahu jelas dari mana asalnya. Keluarga kami tidak takut menghadapi mereka tapi keluarga Inggrid, mereka tidak punya kekuatan untuk melawan. Sehingga Ayahku membantu keluarga Inggrid untuk pindah ke kota lain, memulai baru, dia bahkan menguruskan beberapa persuratan untuk mengganti identitas mereka dan merubah data-data mereka, ayah memiliki beberapa kenalan yang bisa membantunya melakukan hal itu, dia membantunya menjual rumahnya di sini dan memberinya rumah dan modal usaha baru untuk mereka di kota lain, dan sejak saat itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan mereka.
Sejak saat itu pula, aku merubah seluruh kelakuanku, aku fokus belajar, berlatih dengan giat, aku harus memenuhi sumpahku, aku kan menjadi penegak hukum untuk mereka yang membutuhkan, membawa keadilan bagi semuanya dan membawa pedang dewi keadilan untuk memenggal para penjahat.
Aku sadar, kejadian yang telah mengubah hidupku, jika malam itu kami tidak bertemu, jika malam itu aku tidak menolongnya, jika persidangan ini tidak pernah terjadi.
***
Aku cukup puas walau bukan aku yang memenjarakan jaksa dan hakim busuk 9 tahun lalu, mereka sekarang sudah di tangkap KPK atas tuduhan korupsi, begitu pula dengan pejabat lalu, mereka semua.
***
2015
Malam sudah menjelang, lampu-lampu jalan menerangi langkahku, aku menyusuri jalan di sebuah komplek perumahan, mencari sebuah rumah, dari alamat yang di berikan Bang Andre, dan akhirnya aku tiba.
Aku berdiri di depan sebuah rumah, rumah yang sederhana tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, berwarna biru muda, dengan taman kecil di depannya dan teras. Rumah ini begitu asrih, begitu tenang, sebuah mobil dan motor terparkir disana. Seorang pria paruh baya sedang duduk, menikmati secangkir teh di teras rumahnya.
Malam itu terasa dingin, tanganku terasa dingin, tidak percaya siapa yang akan ku temui malam ini, keluarga itu, mereka telah menjadi sebuah penanda, dan pembawa perubahan dalam hidupku, aku tidak tahu apakah mereka masih mengingatku atau tidak, apakah aku kehadiranku ini di harapkan.
Cahaya remang lampu tamannya cukup untuk menerangi wajahku, dan dengan jelas memperlihatkan wajah pria itu, iya pria itu familiar, Bapak Yacob, dia adalah ayah Inggrid, pria ini aku ingat, aku sering bertemu dengannya waktu itu. Dalam remangnya malam itu, pria itu melihatku, melihatku hanya berdiri depan rumahnya, dia menatapku dan aku tersenyum ragu padanya. Pria itu lalu berdiri, terdiam memandangi ku dan dia berlari menghampiriku, memelukku dengan tiba-tiba.
“NAK TEDY, Nak Tedy kan?”, sambil memegangi pundakku, matanya berkaca-kaca menatap mataku, begitu juga diriku. Aku memeluknya erat dan mengusap punggungnya, lelaki ini telah memperjuangkan haknya juga di pengadilan waktu itu, dia telah berjuang mati-matian, tapi sayang.
“Apa kabar Shu? Sehat kan?”, aku menghela nafas panjang, mengilangkan getaran pada suaraku.(Shu ; ShuShu adalah panggilan pengganti Om, Ai untuk Tante)
“Hao…heng hao! (baik, sangat baik!)” dia memberikan jawaban yang tegas padaku, dia terlihat sehat. Aku senang dia baik-baik saja selama ini, dia bisa aman bersama dengan keluarganya di tempat yang baru ini, dia bisa menjaga keluarganya.
“Kau sudah besar sekarang! Sudah lebih gagah dari waktu dulu! Sudah berapa tahun ya?” dia sangat bersemangat bertemu denganku.
“Sudah hampir 10 tahun Shu…” aku menjawabnya sambil sedikit mengelap airmata yang keluar dari pelupuk mataku.
“Ayo masuk, masuk!”, lalu dia menarikku masuk kerumahnya, mempersilahkanku duduk.
“Xing! Ling! Kalian tidak akan percaya siapa yang datang! Ayo segera kesini!”, di berteriak kedalam rumah. Tidak lama berselang Ai Xing-xing keluar, dia seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat, aku duduk di ruang tamunya tersenyum dan menyapanya. Ai Xing sama seperti suaminya seperti tidak percaya aku kini berada di rumahnya, seorang anak laki-laki yang dulu berjuang bersama mereka, menjaga martabat keluarga mereka, demi anak semata wayangnya.
Mereka menyambutku dengan sangat hangat, seperti keluarga jauh yang baru saja bertemu kembali, seperti kerabat yang baru saja pulang merantau, rasanya bahagia bisa melihat mereka seperti ini.
Tak lama kemudian Elly pun muncul, bukan, bukan Elly tapi Inggrid. Aku hanya bisa duduk tersenyum menatapnya. Inggrid tersenyum, aku bisa melihat airmatanya mengalir keluar dari matanya, aku berdiri, dia tersenyum lebar dan memelukku, menekapku begitu erat. Aku senang, aku bisa menemukannya lagi, tapi aku tidak menyangka pertemua kami harus seperti ini.
“Ni zhang da le <kamu sudah besar sekarang>, sampai aku tidak mengenali mu”, aku mendekapnya, memeluknya dengan erat, aku tidak bisa menahan air mataku, ku sandarkan kepalaku padanya, kuusap rambutnya, Inggridpun menyandarkan kepalanya ke dadaku dan menangis, airmata ini, airmata bahagia kami.
ShuShu Yocob dan Ai Xing hanya melihat kami dari samping, kami berdua seperti saudara yang terpisah begitu lama, dan baru bisa berkumpul kembali.
Malam itu kami ngobrol, mereka sekeluarga, aku dan mereka, banyak yang harus ku tanyakan, bagaimana mereka selama ini, bagaimana kehidupan disini, apakah semuanya baik-baik saja.
Aku menemukan mereka, keluarga yang berpengaruh dalam hidupku, mereka yang membuatku ingin menempuh jalan hukum ini, walau orang tuaku tidak setuju, tapi mereka tetap saja mendukungku, dan karena mengingat keluarga inilah ayahku merelakanku untuk menjadi sarjan hukum.
Mungkin ini juga cara Tuhan mengingatkan ku akan sumpah yang telah ku buat sembilan tahun lalu, mengingatkanku bahwa jalanku bukan menjadi seorang pegawai yang hanya duduk dan diam menerima gaji, tapi di luar sana membela mereka yang membutuhkan, menjadi penegak hukum dengan caraku sendiri.
**
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂