Kesempurnaan Cinta Part 2

KisahMalam Cerita Dewasa Bersambung Kesempurnaan Cinta
Kesempurnaan Cinta Part 2
Nyaris
Besoknya aku melihat Yuyun. Dia adalah karyawati front officer. Yuyun ini boleh dibilang anaknya baik, cakep, pinter dan lugu. Bego banget kalau Doni sampai nyelingkuhin dia. Dia waktu itu ada di ruang fotocopy. Tatapannya kosong. Dia terus memencet tombol berwarna hijau untuk mengcopy kertas. Tampak matanya sembab. Aku menghampirinya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku.
“Nggak apa-apa,” jawabnya.
“Itu mau dicopy sampai berapa?” tanyaku ketika melihat kertas fotocopy mulai habis.
“Eh? Aduh!” Yuyun segera menghentikannya. Dia lalu nangis, “Huuaaaaa…..!”
Melihat cewek jongkok sambil nangis membuatku tersentuh juga.
“Kamu pulang aja deh Yun, kerjaanmu nggak beres gini,” kataku.
“Hikss…maaf mas Arci, ini semua gara-gara Doni brengsek itu,” katanya.
“Iya, aku tahu”
“Koq seenaknya dia mutusin aku, gara-gara si cewek brengsek itu…hikss…hikss”
“Udahlah! Hei, ntar ketahuan bos berabe lho!” kataku.
“Biarin, biar! Dipecat juga nggak masalah…hiks…”
Dasar wanita. Kalau sudah nangis ya seperti ini ternyata. Aku lalu mengulurkan tanganku, “Udah deh, yuk aku traktir makan di kantin. Udah sarapan belum?”
Dia menggeleng.
Akhirnya aku pun mentraktir dia sarapan pagi itu. Dia makan banyak banget. Mungkin tipikalnya sama seperti aku, kalau sedang stress pasti akan makan sebanyak-banyaknya. Melihat dia makan semangkok bubur untuk ketiga kalinya aku lalu bilang, “Habis ini udah, perutmu bisa meledak nanti”
“Biarin, toh Mas Doni udah nggak perhatian lagi ama aku. Mau gendut kek, mau perut meledak kek aku nggak peduli, hap…nyam…,” katanya sambil mengunyah bubur ayam.
Aku hanya bisa menghela nafas. “Ya udah, habis ini kamu bisa kerja nggak? Kalau nggak bisa kerja, ijin pulang saja!”
Dia lalu menatap ke arahku, “Ada apa mas? Apakah Doni mau minta maaf? Pake perantara mas?”
Aku mengangguk.
“HUuaaaaaa…,” dia nangis lagi. Habis itu ia pesen bubur ayam lagi. Ini adalah mangkuk keempat yang ia pesan. Dasar wanita.
Hari itu aku memaksa Yuyun untuk pulang ke rumah. Kasihan juga dia. Dan dengan terpaksa juga aku harus nganter dia pulang. Gila apa anak cewek nangis sesenggukan gitu disuruh pulang sendirian. Terpaksa aku ijin sebentar untuk keluar ngenter Yuyun pulang. Aku tentu saja sudah kenal baik dengan dia, karena Doni dan Yuyun sudah bersama sejak aku masuk kantor ini pertama kali. Mereka jadian pun aku tahu. Bahkan kemesraan keduanya bikin aku ngiri. Iyalah, kemana-mana mereka selalu bersama. Aneh aja ketika tiba-tiba dia selingkuh trus end gitu aja.
Di jalan Yuyun lebih banyak nangis. Dia benar-benar total nggak bisa kerja hari ini. Daripada nanti menghabiskan kertas fotocopy. Entah berapa banyak tissue yang ia habiskan di dalam mobilku hanya untuk menyeka air matanya. Kurang lebih selama setengah jam aku berkendara hingga sampai di rumahnya. Rupanya Yuyun ini ngontrak. Rumah kontrakannya cukup lumayanlah, halamannya cukup masuk satu mobil.
“Udah sampai nih,” kataku.
“Huaaaa….,” nangis lagi nih cewek. Lama-lama gua sumpal itu mulut.
“Woi udah woi! Situ mau turun apa nggak?” tanyaku.
Akhirnya setelah aku bujuk, dia mau turun.
“Udah ya, aku balik,” kataku.
“Arci bego!” katanya.
“Hah? Bego kenapa?”
“Kalau ada cewek lagi sedih seperti aku ya ditemeni sebentar kek sampe sedihnya lewat, malah langsung ditinggal”
“Lho, aku juga ada kerjaan ini”
“Hikss…dasar kalian berdua sama-sama bego, pantes kamu nggak dapat pacar sampai sekarang,” ejeknya sambil sesenggukan.
Ahh…brengsek, oke dah. “Iya iya, aku temeni. Bawel!”
Aku pun masuk juga ke kontrakan Yuyun. Surprise dia tinggal sendirian di rumah kontrakan kecil ini.
“Ini rumah kontrakanmu?” tanyaku.
“Sebenarnya ini rumah bibiku, karena orangnya sedang jadi TKI akhirnya aku tinggal di sini,” jawabnya.
“Oh, begitu. TKI kemana?”
“Ke China”
Rumahnya cukup rapi, ruang tamunya juga nyaman. Bisa dibilang ini adalah ruang tamu ternyaman yang pernah ku ketahui. Di pintunya tampak ada sebuah lubang kecil yang pintunya bisa terbuka. Tampak seekor kucing masuk ke dalam rumah dari pintu itu.
“Heeii….Uciiill…kamu kemana aja? Ngehamilin kucing tetangga lagi ya? Sekarang anakmu berapa sih?” tampak Yuyun menggaruk-garuk leher kucing itu. Yuyun menoleh ke arahku, “Duduk dulu deh, mau minum apa?”
“Nggak usah deh. Ntar jadi asin lagi airnya gara-gara kamu nangis terus,” jawabku.
Tiba-tiba Yuyun langsung memelukku.
“Lho, lho, lho, Yun??”
“Sebentar Ci, jangan tinggalin aku, sebentaaar aja,” katanya sambil membenamkan wajahnya ke dadaku. Nggak woi, nggak begini jadinya.
“Yun udah deh, Doni itu sohibku aku nggak bisa melakukan ini. Nanti ia salah sangka,” kataku.
“Udahlah, dia udah mutusin aku. Kamu lagi sendiri juga kan? Nggak apa-apa kan orang sama-sama sendirinya koq”
Ini sudah bakal aku duga. Menghibur cewek sedih karena diputus, nganter pulang ke rumahnya. Eh, di rumahnya dia sendiran. Bener kata orang, iman itu bisa kuat tapi nggak tahu si amin. Akhirnya di kepalaku ada dua makhluk, satu setan satu malaikat. Yang setan bilang, “Sikat aja bos, dia sendirian, lagi butuh belaian. Toh dia udah diputus Doni. Sikaaaat!” Nah, yang satunya malaikat bilang, “Jangan bos, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan itu nggak baik. Apalagi dia teman, masa’ teman makan teman? Eling, kamu masih kerja hari ini!”
Siapa yang menang?
Aku dorong tubuh Yuyun, “Sorry Yun, ya aku tahu kamu sendirian sekarang, tapi nggak gini caranya. Aku masih nggak enak ama Doni.”
Yuyun melepaskan pelukannya. Ia menghela nafas. “Ya udah deh,” katanya. “Pergi sana!”
“Sorry, aku pergi sekarang,” kataku.
Aku segera berbalik dan pergi meninggalkan Yuyun sendirian di kontrakannya. Kalian kecewa ya? Nggak bakalan ada SS gara-gara aku cuma sendirian bersama Yuyun padahal keadaan sudah memungkinkan, apalagi tadi sempat merasakan perasaan kenyal-kenyal gimana gitu? Hahahhaha, tapi aku gentleman. Nggak mungkin makan temen. Masih panjang jalannya.
Aku pun kembali ke kantor pagi itu.
Sesampainya di kantor aku rada aneh juga melihat Doni di mejanya. Dia juga tampak sedih. Dia melototin layar monitor dengan tatapan kosong. Tangan kanannya mengklik mouse tanpa ia perhatikan apa yang diklik. Mereka berdua ini kenapa sih? Aku pun menepuk pundaknya.
“Kenapa?” tanyaku.
Ia kaget. “Eh, Ci! Sorry”
“Ngelamunin Yuyun? Brengsek lu, bikin anak cewek nangis sampai ngabisin bubur empat mangkok,” kataku.
“Serius?” tanyanya.
“Dua rius!”
“Ya udah deh, syukurlah kalau begitu”
“Heh? Syukurlah? Syukurlah kepala lu peak, ntar kalau dia bunuh diri di rumahnya gimana?”
“Nggaklah, kalau dia udah makan banyak biasanya ia udah mendingan, makasih ya. Moga ia memaafkanku kali ini”
“Ck ck..sob sob, udah deh. Aku mau kerja lagi,” kataku.
Aku balik lagi ke mejaku setelah menemui Doni tadi. Brengseklah ngapain juga aku ngurusin dua orang nggak jelas itu. Mana hari ini aku harus mempersiapkan presentasi project yang diajuin oleh Arthur Darmawan. Konsep dan projectnya diubah seenak perutnya itu orang. Brengsek bener.
Aku butuh waktu sampai tiga jam. Meeting dilakukan setelah makan siang dan pastinya orang-orang sedang vit semuanya. Maklumlah perutnya udah kenyang setelah makan siang. Aku sudah persiapkan dari presentasi produk yang dulu pernah kami buat. Barangkali nanti akan ada perkembangan lebih lanjut. Akhirnya setelah sibuk bikin presentasi tak terasa sudah jam makan siang. Aku segera ke kantin.
Di kantin aku nggak pesen yang muluk-muluk buat makan siang. Melihat nasi rawon aku jadi ngiler akhirnya aku pesen juga itu nasi rawon plus teh dingin. Saat enak-enak makan aku lalu melihat seorang cewek rambutnya panjang, lurus, ia memakai kacamata dengan bingkai warna hitam. Sesaat ia menoleh ke arahku. Pegawai baru? Bukan. Aku lihat tasnya, GUCCI wogh. Bajunya juga bukan baju orang kantoran. Sebentar aku koq sepertinya kenal. Kapan ya pernah ketemu??
Ingatanku pun melayang. Oh iya, dia cewek yang ditunjukin fotonya ama Doni kemarin. Vira Yuniarsih. Ngapain dia di sini?
Dia tampak duduk sendirian sambil membawa nampan yang isinya burger dan segelas minuman bersoda. Nggak salah lagi, ini cewek yang ditunjukan oleh Doni kemarin. Dan tak lama kemudian aku melihat seorang yang tak asing lagi, siapa lagi kalau bukan Doni?? Dia langsung menghampiri Vira. Mereka langsung terlibat percakapan yang serius. Entah apa. Tapi melihat gelagatnya koq mereka jauh dari yang namanya pacaran yah?
Setelah beberapa saat bicara sambil menghabiskan burgernya, Vira kemudian pergi dan meninggalkan Doni. Sohibku itu tampak murung. Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?
Aku tak ingin mengganggunya dulu, segera aku pergi ke ruang meeting karena aku pasti ditunggu oleh yang lain.
Ya, aku pergi ke ruang meeting. Di sana tiba-tiba Pak Romi keluar ruangan bersama Arthur Darmawan. Terus terang aku ingin membuat orang-orang ini terkesan dengan presentasi yang akan aku gelar sebentar lagi. Tapi melihat wajah Pak Romi rasanya hal itu tidak mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Pak, meetingnya?” tanyaku.
“Maaf Arci, meetingnya tidak jadi,” jawab Pak Romi. Yang lainnya juga keluar ruangan.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku.
“Pak Arthur tidak jadi membuat proyek ini, ia lebih tertarik ke yang lain,” jawab Pak Romi.
“Tapi pak, nggak bisa gitu dong. Kan kemarin kita sudah sepakat,” kataku.
“Maaf Arci, lain kali saja,” kata Arthur. Wajah tuanya itu membuatku tak bisa membantah perkataannya.
Apa yang sebenarnya diinginkan orang tua ini? Kemarin dia menolak proyek situs datingku, sekarang ketika kita sudah sepakat untuk proyek lainnya malah ia batalkan. What the hell he want?
Aku pun kembali ke ruanganku. Hampir saja aku banting laptopku kalau aku tidak berpikir dua kali. Kemudian aku kembali browsing-browsing. Seharian itu aku bete berat dan stress. Total hari itu aku cuma main-main kerjaannya dan sibuk buka-buka situs semprot.com.
Sorenya aku pulang dari kantor. Kulihat Doni menyapaku ketika naik sepeda motornya, “Ci, sorry ya dan terima kasih”
“Halah, tenang aja sob. It’s OK,” kataku. Padahal nyaris saja itu si Yuyun aku garap.
Kemudian aku setir mobilku dengan tenang menuju apartemenku. Mau pulang tapi aku teringat kalau di rumah nggak ada makanan. Ah, iya. Sebaiknya aku belanja dulu. Aku pun mampir di swalayan untuk berbelanja kebutuhanku selama seminggu. Belanja sayuran mulai dari lobak, kubis, daging, telur, saus, sambal, makanan kaleng, camilan dan minuman bersoda. Setelah itu aku pun mulai mengantri di kasir.
Tampak seorang cewek sedang sibuk mencari-cari sesuatu. Ah, aku tahu dia. Dia kan Vira. Karena aku ada di belakangnya aku menyapanya.
“Cari apa?” tanyaku.
Dia menoleh ke arahku. “Lupa bawa dompet,” jawabnya.
Aku melihat ke arah mbak-mbak kasir yang menampakkan wajah nggak suka, aku lalu menyerahkan kartu kreditku ke kasir. “Dijadiin satu aja mbak pembayarannya.”
“Lho, koq?”
“Udah, daripada kita ngantri di sini kasihan yang lain,” kataku.
Akhirnya belanjaannya pun aku yang bayarin. Aku lihat dia belanja air mineral, kacamata, obat dan beberapa camilan.
“Makasih ya,” katanya setelah kami melewati bagian kasir tadi. Ia tersenyum kepadaku. “Aku…”
“Vira Yuniarsih, anaknya Arthur Darmawan,” kataku. “Kenalkan aku Arczre, panggil saja Arci”
“Eh?”
“Terkejut aku bisa tahu?” tanyaku.
“Oh itu, i..iya.”
“Doni Hermansyah itu temanku, sohibku. Aku lihat tadi kamu di kantin. Ada masalah apa sebenarnya?”
“Itu…bukan apa-apa, nggak ada apa-apa”
“Kalian jalan bareng?” tanyaku.
“Bisa dibilang begitu,” jawabnya dengan suara datar. “Sebenarnya aku tadi berpisah ama dia, nggak mau dekat ama dia lagi soalnya tahu sendirilah dia ternyata udah punya cewek gitu”
“Sungguh?” tanyaku.
“Terserah deh, mau percaya apa nggak”
Dia berjalan keluar swalayan dan berdiri di pinggir trotoar.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Mau nyari hotel,” jawabnya.
“Udahlah nggak usah bego atau pura-pura bego,” kataku sambil membuka pintu mobilku.
“Maksudnya?”
“Kamu nggak bawa dompet, mau bayar pake apa? Aku anter aja!”
Ia garuk-garuk kepala, “I..iya juga sih”
Andai saja aku malam itu nggak nyuruh dia masuk mobilku, mungkin semuanya tak akan terjadi. Apalagi sok tahu tentang namanya. Semuanya tak akan terjadi seperti ini. Malam itu pun aku mengantarnya.
“Alamatmu di mana?” tanyaku.
“Di Menteng,” jawabnya.
“Gila, tajir bener ya bokapmu? Sampai tinggal di Menteng segala?”
“Tapi jangan pulang yah”
“Maksudnya?”
“Kalau boleh sih, kalau boleh aku ingin tinggal sebentar di rumahmu”
Aku langsung meminggirkan mobilku dan berhenti. “Maksudnya?”
Dia menoleh ke arahku, “Ayolah, aku seorang cewek, nggak bawa dompet, nggak bawa ponsel kemaleman. Lagipula sebenarnya….”
“Sebenarnya?” sambungku.
“Aku kabur dari rumah”
“Oh…perfect. Jadi maksudnya aku sekarang membantu seorang anak cewek kelayapan kabur dari rumah?”
“Pliiiss, bantu aku dong. Semalem aja deh habis itu anterin aku ke rumah bibiku,” kata Vira mengiba. Ada raut wajah yang membuatku nggak bisa berbuat banyak selain menurutinya.
“Oke, cuma semalam. Setelah itu kamu cabut!”
Vira mengangguk-angguk. Akhirnya aku dengan sangat terpaksa mengajak dia ke apartemenku.
Begitu masuk apartemenku dia cukup takjub. Tubuhnya berputar-putar seperti penari balet yang baru saja masuk panggung. Aku melepaskan sepatuku dan kutaruh di rak sepatu. Dia melihatku melakukannya.
“Eh, lantainya nggak boleh ada sepatu ya? Maaf,” ia buru-buru melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak. Aku segera masuk ke kamarku. Vira langsung duduk di sofa.
Barang belanjaan aku taruh di kulkas, setelah itu aku segera ganti baju. Kulepas kemejaku dan ganti dengan singlet serta training. Begitu aku keluar kamar kulihat Vira sudah memasang headphone di telinganya. Dia sedang asyik mendengarkan sesuatu dari MP3 Playerku. Aku hanya geleng-geleng saja menyaksikannya. Kuambil handuk yang ada di dekat centelan kamar mandi, lalu aku membersihkan diriku.
Hari ini rasanya melelahkan sekali. Setelah mandi aku kembali ke ruang tengah. Aku sudah melihatnya menonton HBO.
“Lapar?” tanyaku.
“Iya, kamu ada makanan?” tanyanya.
“Kalau mau masak aja sendiri”
Dia cemberut.
“Kamu bisa masak?” tanyaku.
Dia menggeleng.
“Halah. Dasar anak mama. Ada mie instan kalau mau,” kataku.
“Kamu mau bikin aku gemuk?”
“Terserah”
“Iya, iya, aku masak mie instan aja deh. Bawel!” Vira segera pergi ke dapur. Entah ia ngapain aja di dapur, pokoknya ribut.
Aku biarkan dia sibuk di dapur, aku sibuk nonton tv sambil nikmati softdrink yang aku beli tadi. Tak berapa lama kemudian dia sudah datang lagi dengan membawa sepiring mie instan goreng. Tampak dia makan dengan lahap, seolah-olah tak pernah memakan makanan seenak itu.
Melihat ia makan aku jadi tertarik buat makan jua. Akhirnya aku pergi ke dapur memasak. Di dapur masih ada nasi di magic jar. Jadi, aku ambil sayuran yang aku beli tadi, kupotong-potong, kutumis-tumis dan jadi deh. Kuambil nasi dan kutaruh sayurnya di piring. Melihat aku datang dengan membawa masakanku Vira tampak menelan ludahnya.
“Kamu bisa masak?” tanyanya.
“Kenapa? Aneh cowok bisa masak?” tanyaku ketus.
Dia mengangguk pelan. Aku cuek dan mulai makan. Melihatku makan dengan lahap, Vira tampaknya kepingin. Dia melihatku terus.
“Cowok setampan lo, ngurus rumah sendirian, kerja, bener-bener keren yah,” gumamnya.
“Ha? Apa kau bilang tadi?” tanyaku yang nggak begitu jelas dia ngomong apa tadi.
“Oh, nggak apa-apa. Aku cuma heran aja, kamu koq masih sendiran aja sampai sekarang”
“Mau gimana lagi, blom ada yang cocok mungkin,” kataku sambil terus memasukkan makanan ke mulutku. Aku melirik ke arahnya. Dia lagi-lagi menelan ludah. Aku jadi kasihan melihat dia. “Ya udah sana, ambil di dapur masih banyak!”
Ia tersenyum lalu berjingkat meninggalkanku. Akhirnya kami berdua pun makan malam bersama. Baru kali ini aku punya teman di apartemenku. Cewek lagi.
Setelah makan malam selesai aku masih bersantai sambil menikmati minumanku yang tinggal sedikit. Saat itulah dia celingukan. Melihat kanan dan kiri. Aku jadi risih sendiri, apa sih maunya?
“Kenapa?” tanyaku.
“Kira-kira aku nanti tidur di mana ya?” tanyanya.
“Di tempatmu duduk itu,” jawabku.
“Apa? Di sini?”
“Iya, masalah?”
“Plis deh ya, aku seumur hidup tak pernah tidur di sofa!”
“Yah, semuanya ada untuk yang pertama,” kataku.
“Tidak, aku ingin tidur di atas kasur. Kamu harus sediain!”
“Hei anak mama, kamu tinggal di apartemenku, jadi kamu harus ikut apa yang aku perintah, jadi terima saja!” kataku. Aku lalu beranjak menuju kamarku. Kuambil bantal dan selimut untuknya aku kemudian meletakkannya di sofa. “Ini, selamat tidur!”
“Hei, aku nggak mau!” katanya masih bersikeras.
“Kalau kamu mau tidur di kamar, maka kamu harus tidur seranjang denganku. Mau?”
Dia terkejut. Dia baru sadar sekarang. Hahahaha, enak saja. Dia tersipu malu. Melihatnya tersipu-sipu itu membuatku makin gemas aja.
“I…iya deh,” katanya.
Akhirnya malam itu ia mau tidur di sofa.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂