Lentera Gelap Part 9

Kisah Malam Lentera Gelap
Lentera Gelap Part 9
Please Don’t Go
Ayah menelponku.
“Maria, aku pulang agak malam. Ibu nanti aku jemput. Justin sudah pulang?” tanyanya.
“Sudah barusan,” jawabku.
“OK, sampai nanti,” kata ayah.
“Daaahh..!” kataku.
Justin baru saja datang. Tapi begitu masuk kamar ia sudah mau keluar lagi.
“Lho, mau ke mana?” tanyaku.
“Aku mau ke rumah teman kak, mau belajar bareng. Besok UASnya mata pelajarannya sulit,” jawabnya.
“Yaaah…kakak sendirian dong,” kataku.
“Lha? Kan ada pacar kakak itu,” katanya.
Aku getok kepalanya. “Seenaknya saja, bukan pacar tauk!”
“Aduh!” dia memegangi kepalanya. “Sakit nih!”
“Ya udah, beliin kakak nasi goreng yah, ayah sama ibu pulangnya malem. Nih duit!” aku kasih dia uang.
“Kembaliannya buatku ya,” kata Justin sambil tersenyum jahat.
“Ya sudah sana, cepetan pulang!” kataku.
“Iya, iya, rese’ amat,” Justin membenarkan ranselnya dan mengambil mantel hujan lalu memakainya hingga ranselnya tertutupi oleh mantel hujan itu.
“Emang hujan di luar?” tanyaku.
“Iya noh hujan,” Justin menunjuk ke jendela. Buseet, hampir tiap hari hujan. Tapi untunglah di tempat ini jarang banget terjadi banjir walaupun sering hujan. Justin kemudian keluar dan naik sepedanya lagi.
Aku kembali melihat ke arah Ray. Dia duduk tenang di sana seolah tak terjadi apa-apa sambil baca novel yang ia bawa tadi. Dasar anak ini. Tapi, aneh juga sih, ngapain dia aku suruh nemenin aku ya? Duh, aku galau sekarang. Aku hanya berdiri melihat dia saja. Tak berani mendekat, juga tak berani beranjak. Kenapa aku berdebar-debar? Kenapa? Kami di rumah sendirian. Kalau ada Andre dia pasti sudah mendekap aku, dan menciumiku bahkan sampai petting segala.
Tak terasa aku sudah cukup lama berdiri.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Ray.
“Eh…enggak,..nggak apa-apa,” jawabku.
“Koq nggak duduk? Aku sudah baca satu bab sampai selesai dari mulai ketika adikmu pergi sampai sekarang kamu masih berdiri. Nggak capek di situ teru?” tanya Ray.
“Ha..habis, kamu kaya’nya enak banget bacanya,” kataku. Duh mukaku memerah.
“Yah, akukan ngira kamu masih sibuk sampai berdiri terus di situ,” katanya. “Inikan rumahmu koq aku yang nyuruh kamu duduk sih?”
“Eh,,..iya..hihihi,” aku lalu duduk di sofa. “Kamu mau minum apa?”
“Nah, setelah setengah jam lamanya akhirnya ditawarin juga,” kata Ray.
“Iya, iya maaf, aku masih shock, jangan ketawain dong,” kataku. Aku malu banget.
“Terserah deh, air putih boleh, teh boleh, asal bukan air cucian atau comberan aja,” kata Ray mulai bergurau.
“Hihihi…ya deh iya,” aku kemudian menuju ke dapur. Kuambilkan gelas dan aku beri satu sachet tes instant kemudian kutuangkan air panas dari dispenser ke gelas, lalu aku tambah air dingin sedikit. Setelah itu aku aduk. Jadilah teh anget, cepet kan? Sekarang semuanya serba praktis. Uap tehnya pun mengepul.
Aku kemudian mengambil nampan dan aku antarkan teh itu ke Ray. Dia sudah nggak membaca novel lagi. “Silakan!”
Ray mengembil gelas itu. Ia ciumi aroma tehnya.
“Teh instan ya?” katanya.
“Koq tahu?”
“Dari aromanya beda, gulanya lebih berasa di hidung karena memakai gula dan pemanis buatan. Kalau diminum maka akan terasa di lidah. Lidah akan mengeluarkan ludah berlebih. Kalau orang yang punya tenggorokan sensitif akan terkena batuk.”
“Sok tahu banget kamu.”
“Ini namanya ilmu, bukan sok, sok’an.”
“Iya deh, iya, dasar kutu buku.”
Kulihat Ray mulai meminumnya sedikit-demi-sedikit.
“Kamu tadi nyuruh adikmu beliin makan ya? Kenapa nggak masak sendiri?” tanyanya.
“Aku nggak bisa masak,” jawabku.
“Ah, bercanda. Anak cewek biasanya bisa masak.”
“Beneran suer.”
“Mau aku ajarin?”
“Emang bisa?”
“Di panti, aku diajari untuk mandiri. Kalau cuma masak sih aku sudah bisa sejak masih SD.”
Aku melongo saja mendengar penjelasannya. Karena penasaran, akhirnya, “Coba deh, kamu bisa masak apa. Tuh, sayuran-sayurannya ada di dapur, semuanya ada di kulkas. Coba aku ingin tahu kamu bisa masak apa.”
Ray kemudian melepaskan jaketnya. “Siapa takut.”
Surprise. Aku tak pernah tahu bahwa cowok ini bisa memasak. Entah dia masak apa yang jelas dia terampil banget motong sayuran. Motong wortel, semua cara memotongnya profesional banget. Aku jadi malu sebagai seorang wanita yang nggak bisa memasak. Dia potong tomat, ambil tepung kanji, ambil garam, ambil gula, akhirnya dapur pun mengepul. Dia masak cap chay sih, tapi dari baunya hhhmmm…bikin perut keroncongan.
Daaann….nggak lama kemudian tersajilah cap chay buatan Ray. Gilaaaakk….beneran ini cowok bisa masak. Kami saat itu berdiri berhadapan di meja dapur. Ray memberikanku garpu, aku kemudian mencicipinya. HHmmmmmm…….. ini sih masakan restoran.
“Gila kamu, bisa masak juga rupanya. Aku jadi iriiii,” kataku.
Ray lalu mengambil garpu dan mencicipi masakannya sendiri. Aduh, alamaaak… entah kenapa aku sekarang ini melihat Ray adalah sesosok pria tampan yang menjadi penyelamatku. Tapi…hiks, koq ya aku sudah punya cowok sih?? Kenapa nggak dia aja. Huhuhuhu…. Andai aku bisa memilih, aku kepingin dia yang jadi cowokku. Bukannya si Andre. Udah ah, hilangkan pikiran berharap itu.
Memang Ray orangnya sangat menarik. Tapi aku harus sadar diri dong. Nggak mungkin aku mengkhianati Andre. Dan Ray, kalau kamu suka ama aku maaf ya, aku tak bisa. Tapi apa dia suka ama aku? Jangan merasa Ge-er dulu laaah.
Tangan Ray melambai-lambai di depan wajahku. Ngapain sih, orang pikiran sedang menerawang koq. Lho…..
“Hoi, koq malah ngelamun. Udah di makan sana,” kata Ray.
“Eh…i…iya,” kataku sambil mengumpat dalam hati. Ngapain ngelamun coba?
Kami akhirnya makan masakan yang dibuat oleh Ray sang koki terkenal hahahaha. Pada saat makan itu pun kami mulai banyak bicara. Meja makan di dapur itu menjadi saksi bahwa aku dan Ray banyak ngobrol sore itu. Ia bercerita tentang pengalamannya ketika ada di panti. Tentang bagaimana ibu asuh memperlakukan dia. Tentang anak-anak panti lainnya yang sangat baik. Sebenarnya ia punya keinginan untuk bisa tinggal sendiri tapi ibu kepala melarangnya karena tenaga Ray masih dibutuhkan.
Setelah perut kenyang dan banyak obrolan yang mengalir, kami lanjutkan dengan belajar. Karena besok pelajaran Fisika. Gila deh si Ray ini. Dia mampu mengajariku seperti seorang guru. Aku sedikit terbantu dengan dia ada di sini. Mungkin karena dia kutu buku kali ya? Dia pintar banget ngajari aku tentang Fisika, gravitasi, gaya, katrol. Dia emang the best. Emang sih, pelajaran yang paling disukainya. Untuk bahasa Inggris sih nggak masalah.
Dan tepat pukul delapan malam adikku datang membawa nasi goreng pesenanku.
“Ini kak!” katanya sambil membawa bungkusan nasi goreng.
“Waduh, kakak udah kenyang. Buat kamu aja deh,” kataku.
“Lha, aku beli dua ini, satu buat kakak, satu buatku,” kata Justin.
“Udah buat kamu aja, tuh di dapur masih ada cap chay buatan Kak Ray,” kataku.
Justin beringsut pergi ke dapur. Kemudian dia berseru. “Kaaaaak, aku makan yaaaa?”
“Iya habisin aja, emang buat kamu koq,” kataku.
Aku tertawa.
“Makasih ya Ray,” kataku.
“Ya, sama-sama,” katanya. “Kalau begitu aku pulang yah, adikmu udah di rumah.”
Entah kenapa rasanya berat banget melepas Ray pergi. Aku hanya bisa mengantarnya keluar. Ray, please jangan pergi. Please! Please!
Terdengar suara ringtone. Rupanya ponsel milik Ray, ia pun mengangkatnya, “Oh, ibu. Iya, iya. Saya pulang. Ini dari rumah temen belajar. Iya, segera.”
Ray menutup teleponnya. “Maaf ya, aku harus kembali. Dicari ibu asuh. Malam Maria.”
“Malam Ray,” kataku.
Kenapa? Kenapa ketika aku sudah dapat pasangan aku malah merasa dia adalah jodohku? Kenapa? Ray, jangan pergi! Kumohon! Aku sekarang mengakui, aku mulai suka ama Ray. Aku suka ama dia. Tapi kenapa? Kenapa harus di saat aku sudah bersama Andre. Sosok Ray pun menghilang. Aku meneteskan air mataku lalu segera masuk ke dalam rumah.
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂