Mama Yang Terbaik Part 2

Aku dan Iwan lebih memilih menyibukkan diri rebahan di atas kasur di kamar Iwan. Hati dan pikiranku seperti sedang beradu argumen, ditambah lagi tubuhku terasa lemas. Semuanya membingungkan, hati dan pikiranku mengingat kejadian tadi siang di kamar berendam air panas. “Kau terlalu gegabah. Aksimu terlalu cepat, harusnya pelan-pelan jangan terburu-buru. Beginilah hasilnya,” kata hatiku yang seakan menyalahkanku. Namun pikiranku menyangkalnya, “Tenang saja. Masih banyak jalan yang bisa membuatmu berhasil. Angkat kepalamu jangan biarkan keinginanmu tak tersampaikan.”
Selama beberapa menit, kami terdiam, tenggelam dalam kegaduhan pikiran kami masing-masing. Aku pikir, Iwan pun sedang memikirkan hal yang sama denganku. Kondisi ini semakin menimbulkan kebingungan dan kekacauan. Tak lama, akhirnya Iwan membuka suara.
“Bim … Aku jadi keder begini … Aku takut …” Keluh Iwan sangat gelisah.
“Sama, Wan … Tapi, kita kayaknya harus nyoba lagi …” Kataku.
“Aku juga pengennya gitu … Tapi …” Sahut Iwan yang terdengar menahan kata-katanya.
“Tenang, Wan … Yang namanya mother, besar ampunannya … Mereka pasti udah memaafkan kelakuan kita tadi siang …” Hiburku berusaha membuat pembenaran agar hati kami menjadi tenang.
“Bener juga …! Pasti itu …!” Ucap Iwan bersemangat.
“Sekarang kita cooling down aja dulu … Jangan buat yang aneh-aneh lagi …” Sambungku.
“Setuju …!” Sahut Iwan yang mulai bisa tersenyum.
Kami pun ngobrol ke sana kemari, terutama tentang kejadian di lokasi wisata pemandian air panas tadi siang, menganalisa kegagalan rencana kami. Membicarakan hal itu, hati kami yang cemas menjadi tenang kembali. Kami terpaksa membuat pembenaran yang indah untuk ‘keburukan’ itu. Kami yakin mereka akan memaafkan perbuatan kami tadi.
Hari ini, hujan kembali turun, seperti biasa di malam hari. Tak ada yang istimewa hujan kali ini sedikit menegangkan, disertai angin kencang dan suara-suara petir menyambar. Suasana yang sangat mendukung untuk menikmati segelas kopi panas dan gorengan hangat. Akhirnya kami memutuskan ke dapur untuk membuat kopi. Sesampainya di dapur aku mengambil dua gelas kecil sementara Iwan memasak air panas untuk kopi kami. Beberapa menit berselang, kopi pun telah siap dan kami menikmati kopi itu di teras belakang rumah.
“Rumah kok sepi ya, Wan? Pada kemana?” Aku bertanya pada Iwan merasa sepi sekali suasana rumah.
“Ayahku pasti pergi mancing … Setiap malam minggu dia pasti mancing di kampung sebelah. Kalau bunda ama Uwa Wati, aku gak tau …” Jawab Iwan sambil menikmati kopinya.
“Udah pada tidur kali …” Perkiraanku.
“Mungkin …” Sahut Iwan seolah tak peduli.
“Wan … Kamu pikir deh … Waktu kita di Ciater tadi … Kenapa ibu-ibu kita seperti yang menikmati digituin ama kita …” Kataku agak pelan pada sepupuku.
“Hhhhmm … Iya juga ya …?” Sahut Iwan sambil menggeser duduknya hingga menghadapku.
“Aku sih menyangka kalau mereka suka … Tapi malu karena masih beranggapan kalau kita itu anak mereka …” Bisikku lagi.
“Ah … Setuju, Bim … Perasaanku juga mengatakan begitu … Malu tapi mau …” Ucap Iwan sambil menjentikan ibu jari dengan telunjuknya.
“Tapi kita tetep harus cooling down dulu … Kita liat perkembangan dulu …” Kataku.
“Sip … Oke …!” Kata Iwan sambil tersenyum.
Dan tiba-tiba lampu mati. Obrolan aku dan Iwan terhenti manakala aliran listrik dari PLN terputus. Keadaan sekeliling menjadi gelap gulita. Kami menyalakan smartphone untuk menerangi sekitar lalu berjalan memasuki dapur kembali. Sialnya, di rumah ini tidak menyediakan lilin atau sejenisnya sebagai sarana penerangan. Dengan sangat terpaksa Iwan segera keluar rumah untuk membeli lilin sementara aku duduk di kursi meja makan sambil terus mempermainkan smartphone.
Belum ada dua menit aku duduk dan bermain smartphone, terdengar pintu dapur terbuka. Seseorang masuk ke dapur dengan membawa lampu senter kecil di tangannya dan menghampiriku. Aku arahkan smartphone ke arahnya dan ternyata bibi Lilis lah orangnya.
“Gak ada lilin ya?” Katanya setelah dekat denganku. Dan aku sangat terpana sampai-sampai bibirku terasa kaku. Aku tidak langsung menjawab pertanyaan bibiku tadi karena mataku terfokus pada penampilan bibiku ini. “Hei …!” Bibi Lilis mengibaskan tangannya di depan mukaku. Barulah aku tersadar.
“Oh … I..iya … Bi …” Sahutku gelagapan.
“Kamu ini kenapa sih?” Tanya bibi Lilis dengan suaranya yang kemayu dan dia sekarang berdiri di sebelahku sangat dekat. Dalam keadaan yang samar-samar bisa aku lihat tubuh bibiku ini hanya dilapisi gaun tidur transparan yang menampilkan seluruh lekuk tubuhnya yang minta dijamah dan yang paling menggoda adalah bibi Lilis tidak mengenakan bra.
“Oh… Iya Bi … Aku hanya terpana aja …” Kataku yang seketika itu juga mencoba menenangkan diri dan sekaligus memberikan godaan ringan padanya.
“Terpana kenapa?” Suara genitnya terdengar jelas di telinga ini dan itu cukup bagiku memantik keberanian dan kegilaanku.
“Bibi sangat sexy …” Kataku yang muluncur begitu saja.
“Ih … Dasar anak nakal …!” Ucap bibi Lilis yang semakin terdengar genit sambil memijit hidungku agak keras.
Aku sangat tahu kalau bibi Lilis sedang menggodaku. Tapi otak warasku masih bekerja dengan sangat baik. Kalau aku tergoda oleh bibiku, maka akan dipastikan Iwan kecewa dan hubungan kami menjadi tidak baik. Akhirnya aku biarkan bibiku duduk di kursi sebelahku. Ah, buah dadanya begitu montok walau sedikit menurun. Namun aku terkagum melihat kedua putingnya yang besar berwarna coklat kehitam-hitaman itu.
“Awas …! Itu mata …!” Ucap bibi Lilis semakin menggoda.
“He he he … Mata gak bisa dilarang, bi … Abisnya indah banget …” Candaku tanpa malu lagi.
“Hus … Bukannya udah sama susu ibumu?” Ucap bibi Lilis lagi yang tentu saja membuatku sedikit malu.
“He he he … Bibi tau aja …” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Dan tiba-tiba …
“Awas!!! Jangan goda-godain bibimu …!” Suara yang keluar dari arah pintu dapur membuatku sangat terkejut.
“Iya ini, teh … Anakmu benar-benar nakal … Hi hi hi …!” Ucap bibi Lilis memprovokasi ibuku yang baru datang.
“Emang dasar ini anak!” Kata ibu sambil menjewer telingaku. Namun aku lagi-lagi terpana karena penampilan ibu lebih sexy ketimbang bibi. Ibu mengenakan gaun tidur transparan berwarna putih sehingga nampak juga lekak lekuk tubuhnya yang tidak menggunakan daleman sama sekali. Jembutnya yang hitam lebat nampak jelas di balik gaun tipisnya itu.
“Tapi ibu masih paling sexy menurutku …” Kataku dengan rasa malu yang sudah sirna. Pikirannya sudah gelap ditutup kabut birahi. Tanpa ragu, aku raih pinggul ibu lalu menariknya hingga ibu duduk di atas pangkuanku.
“Aduh, Bima …! Apa-apaan sih!” Pekik ibu yang terdengar kaget.
“Hi hi hi … Anakmu itu udah kepengin kali, teh …” Canda bibi Lilis sambil terkekeh.
“Aku heran saja … kenapa mereka ingin ama ibunya sendiri …” Ucap ibu yang kini tangan kirinya telah melingkar di pundakku bagian belakang.
“Abisnya mama menggairahkan sekali …” Kataku setengah vulgar. Tanganku melingkar di perutnya dan bibirku menciumi lehernya yang terbuka.
“Aaahh … Hentikan, Bima … Apa gak malu sama bibimu …?” Ibu sedikit berontak namun tangan kanannya malah mendekap kepalaku erat. Tentu saja aku semakin berani menciumi lehernya.
Ibu terus memekik pelan melarangku, namun aku tahu kalau larangannya itu hanya di mulutnya saja. Terbukti saat tanganku meremas payudaranya, ibu malah melenguh. Bibiku hanya tertawa-tawa melihat kejadian di depan matanya. Bibi Lilis seperti sedang menyemangatiku agar aku ‘ngenyot’ terus di puting susu ibuku. Aku pun mencium payudaranya yang menggelembung dari balik gaun tidurnya yang tipis. Ibu melenguh nikmat tapi segera tangannya mendorongku agak keras agar menjauh dari payudaranya. Tak lama, Iwan pun datang. Aku pun berhenti ‘menggoda’ ibuku.
“Bim …???” Suara Iwan terdengar sangat terkejut. Matanya melotot memandangi aku dan ibu.
“He he he … Wan … Bunda kamu udah sange tuh …” Kataku tak lagi sungkan apalagi malu. Karena aku tahu kalau ibu kami sudah memberikan lampu hijau dan aku tak mau moment ini terlewatkan.
“Huh!!! Dasar anak-anak mesum!!!” Ucap ibu bernada kesal dan dengan memaksa berdiri dari pangkuanku. Ibu langsung berjalan keluar dari dapur.
“Memang …!” Sambung bibi Lilis sambil berdiri lalu mengikuti langkah ibuku keluar dapur.
“Ah, sial!” Makiku kesal.
“Bim … Kamu???” Iwan terlihat heran dan kaget.
“He he he … Tenang Wan … Aku punya ide …” Kataku.
“Ide apa?” Tanya Iwan lagi.
“Malem ini kita harus bisa ngentotin mereka …” Kataku.
“Oh … Gimana caranya?” Iwan bersemangat sekali.
“Ayo! Laksanakan!” Ajakku.
Iwan pun menyalakan lilin-lilin di beberapa titik di seluruh rumahnya, termasuk kamar ibunya dimana ibuku juga berada di dalamnya. Sementara aku mencari rempah-rempah di dapur yang akan aku buat untuk minuman panas. Kebetulan minuman panas yang akan aku buat cocok untuk suasana hujan lebat seperti malam ini. Aku siapkan telur, jeruk nipis, madu, jahe, lada hitam dan kopi. Untungnya yang aku perlukan tersedia semua di dapur ini.
“Kamu mau buat apa?” Tanya Iwan setelah berdiri di sampingku.
“Minuman ini obat perangsang buat ibu-ibu kita …” Bisikku pada Iwan.
“Wow … Amazing …! Sini aku bantu …!” Kata Iwan bersemangat.
“Buat kopi kental … Sana …!” Perintahku.
“Aaaassiiiaaappp…!” Sahutnya.
Kami pun membuat minuman ‘obat perangsang’ buat ibu-ibu kami. Aku sebagai mahasiswa kedokteran sangat memahami cara membangkitkan keinginan seksual wanita dengan cara meramu beberapa bahan masakan ini. Pertama aku ambil kuning telur dulu, baru kemudian menghaluskan jahe lalu diambil airnya. Beberapa menit kemudian, kopi kental telah tersedia dengan suhu yang hangat, lalu aku masukan kuning telur, lada hitam, air perasan jahe, dikasih air perasan jeruk nipis dan terakhir madu yang cukup banyak agar kopi terasa manis. Keberhasilan ramuan ini memang fifty-fifty, namun paling tidak seseorang yang meminum kopi ini akan merasa segar dan sehat tanpa efek samping.
“Beres …! Sekarang kita buah gaduh sambil beres-beres dapur, biar mereka ke sini lagi.” Kataku.
“Okay …” Sahut Iwan.
Empat gelas besar kopi disimpan di atas meja. Kami pun mulai membersihkan dapur bekas memasak dengan suara yang dibikin gaduh. Beberapa kali panci yang jatuh kelantai dan kami pun berpura-pura bertengkar. Tak ayal, dapur pun menjadi ramai dan gaduh. Dan rencanaku berhasil dengan gemilang. Ibuku dan bibi Lilis datang ke dapur bersamaan dengan aliran listrik tersambung lagi dari PLN.
“Ada apa ini?” Tanya bibi Lilis keheranan.
“Oh, nggak bun … Tadi kami buat kopi … Tapi Bima buat yang macem-macem … Pake madu lah, jahe lah … Jadi berantakan deh … Kita lagi bersihin dapur …” Kata Iwan sangat meyakinkan.
“He he he … Kopi ala chef Bima … Gak akan ada di dunia kopi semacam ini …” Kataku.
“Ya tapi gak usah berisik begitu dong …” Kata ibuku.
“Ah, tadi gelap sih ma … Pada nabrak deh …” Kilahku.
“Ya sudah … Cepat beresin …! Eh, ini kopinya?” Tanya bibi Lilis sambil mendekat ke arah meja makan.
“Iya, bun … Kita buat empat … Masing-masing satu …” Jawab Iwan sambil mendekat pada ibunya.
“Hhhhmm … Coba ngerasain …” Kata bibi Lilis sambil mengambil salah satu gelas lalu nyeruputnya pelan-pelan.
“Gimana rasanya?” Ibuku pun mengambil salah satu gelas kopi.
“Aneh teh … Tapi seger … Anget ke badan …” Jawab bibi Lilis. Dan tak lama ibu pun mulai nyeruput kopinya.
“Eemm … Enak juga … Siapa yang bikin?” Tanya ibu.
“Kita berdua dong … Resepnya liat dari internet …” Jawabku.
Tak disangka kedua ibu-ibu itu menyukai hasil racikanku. Aku dan Iwan pun mulai menikmati kopi ini. Kami berempat akhirnya duduk-duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Kami duduk lesehan di karpet dimana kedua ibu diapit oleh aku dan Iwan. Aku di sebelah ibu dan Iwan di sebelah ibunya.
Kali ini kami menonton drama korea. Para ibu terlihat sangat menyukai apa yang mereka tonton. Mugkin semua wanita mengalami hal yang sama saat menonton drama romantis. Ditambah pemerannya yang super-super ganteng. Ya meski ganteng plastik. Sesekali para ibu membanting bantal duduk karena kesal kemudian tertawa lagi. Sepertinya aku dan Iwan terlalu asik memandangi tubuh ibu kita masing-masing. Aku sendiri sudah benar-benar terangsang namun aku masih menunggu momen yang tepat. Akhirnya aku pun tersenyum pada saat melihat adegan romatis dan ‘semi’ di film tersebut. Para ibu menutup muka karena malu.
“Loh kok pas seru-serunya malah menutup muka?” Kataku sambil bergeser menempelkan tubuh ke badan ibu lalu menarik tangan ibu yang sedang menutupi mukanya.
“Iya nih … Seru bun …!” Kata Iwan yang mengikuti perbuatanku memaksa tangan ibunya terlepas dari wajahnya.
“Kalian ini … Kalau yang begitu, suka …!” Ketus ibuku yang tangannya sudah terlepas dari wajahnya.
“Eh … Iw ….” Pekik bibi Lilis tertahan karena bibir Iwan telah ‘nyosor’ ke bibir ibunya.
Aku melihat Iwan agak ‘memaksa’ menciumi bibir ibunya. Namun beberapa detik kemudian, ciuman Iwan mendapat balasan dari ibunya. Mereka terlihat saling balas ciuman mesra. Saling jilat dan kulum, seolah mereka adalah sepasang kekasih yang sedang dilanda api asmara. Ciuman mereka semakin dalam bahkan tangan Iwan sudah berada di dada ibunya.
“Hei … Lilis …!” Pekik ibu agak keras sambil melotot.
Bibi Lilis serta merta mendorong tubuh Iwan kemudian mengelap mulutnya yang berlumuran air liur. Terlihat ibu memberikan kode pada bibi Lilis dan sejurus kemudian kedua wanita itu berdiri dan meninggalkan aku dan Iwan. Iwan kini duduk menghadap ke arahku dengan tatapan serius. Sorot matanya seperti robot sedang memindai. Sementara aku masih terkejut dengan sikap agresif sepupuku ini. Akhirnya aku berusaha menetralkan suasana, aku tersenyum sebelum berkata.
“Gagal maning …” Kataku masih tetap tersenyum.
“Kok gak berpengaruh minumannya?” Tanya Iwan dengan mimik menahan nafsunya.
“He he he … Malah kamu yang sange …” Ucapku sambil terkekeh.
“Serius, Bim … Aku sange berat …” Kata Iwan seraya mengusap-usap juniornya.
“Sama … Tapi mau gimana lagi … Dah ah, kita tidur aja …!” Kataku sambil berdiri dan berjalan meninggalkan Iwan yang masih terduduk di karpet.
“Bim … Tunggu …!!” Seru Iwan tapi tak aku hiraukan.
Aku terus berjalan memasuki kamar. Terdengar langkah Iwan di belakangku. Sampai di dalam kamar aku membantingkan tubuh ke kasur empuk milik Iwan, aku menatap langit kamarnya yang dicat putih polos. Tak lama, Iwan ikut berbaring di sampingku. Tak ada kata yang keluar dari mulut kami. Rupanya aku asyik dengan lamunanku sendiri sampai melupakan keberadaan sepupuku.
“Bim …” Lirih Iwan.
“Hhhhmm …” Balasku dengan bergumam.
“Sorry … Tadi aku gak bisa nahan …” Ungkap Iwan menyesal.
“Gak apa-apa … Bukan salah kamu, tapi titid kamu yang salah … He he he …” Kataku yang diakhiri dengan tertawa kecil.
“Bisa aja kamu …” Kata Iwan sambil tersenyum.
“Daripada konak sendiri … Gimana kalau kita maen game …” Ajakku.
“Siap …!” Sambut Iwan.
Kami pun bermain game online dengan menggunakan smartphone. Keseruan bermain game membuat kami bisa melupakan sedikit beban di pikiran. Tak terasa hari sudah melewati tengah malam dan kami sama-sama sudah mengantuk. Akhirnya kami memutuskan menyudahi game dan tidur. Karena kegiatan yang aku lakukan sejak pagi, membuat tidurku sangat lelap.
—– o0o —–
Pagi yang cukup cerah untuk memulai perjalanan pulang kembali ke kotaku. Mobilku sudah di tengah kota Lembang. Suasananya tenang dan damai. Tak lama kemudian, pemandangan yang diwarnai dengan daerah pedesaan mulai terlihat setelah meninggalkan kota Lembang. Gunung-gunung yang berderet dan udara yang menembus dari kaca jendela mobilku yang melaju cepat. Membuka semangatku akan aroma khas dan alami. Santai dan menyegarkan. Cukup untuk relaksasi saat udara sejuk dan dingin ini menerpa.
Ibu yang duduk di sebelahku, cara dia duduk sangat anggun, kaki disilangkan, punggung tegap, dagu sedikit naik, kedua tangannya memegang dompet besar di pangkuannya. Walau ibu sudah berumur 42 tahun namun ibu masih terlihat cantik dan seksi. Wajah dan tubuh montok ibuku membuat banyak laki-laki suka melirik-lirik padanya. Memang penampilan ibu sangat memukau hati banyak lelaki, dan aku kembali menyadari kalau ibuku ini memang terlihat sangat sexy.
“Udah … Jangan lirik-lirik aja … Nyetir yang fokus …” Ucap ibu yang mengetahui kalau aku sering meliriknya.
“Iya, boss …” Sahutku sambil tersenyum malu.
“Bima … Mama pengen ke Tangkuban Perahu dulu …” Kata ibu pelan.
“Em … Siap …” Jawabku.
“Mama kangen ke tempat itu … Sudah lama sekali gak pernah mampir kalau ke sini.” Ungkapnya.
“Kayaknya tempat itu punya memori ya, ma …” Kataku sok tahu.
“Hi hi hi … Dulu sih … Sama pacar mama sebelum papamu …” Kata ibu sambil tertawa lirih.
Sekitar pukul 09.00 pagi, kami memasuki gerbang Tangkuban Perahu. Setelah membayar tiket masuk, perjalanan dilanjutkan dengan melewati jalur yang menanjak dan berliku. Udara yang sejuk ditambah pemandangan di kanan kiri jalan membuat kami sangat bersemangat. Raut wajah ibu tampak gembira dan tak henti-hentinya menceritakan pengalaman tempat wisata ini tempo dulu. Terlontar juga dari mulut ibu kalau pernah ada kisah yang membuatnya bahagia pada saat ia remaja dulu.
“Sekarang orangnya di mana, ma …?” Tanyaku pada seseorang yang pernah ada di hati ibuku.
“Mama gak tau … Setelah mama menikah dengan papamu … Dia menghilang …” Ucap ibu sambil menghela nafas.
“Ibu masih suka ya sama dia … Sampe mau bernostalgia seperti ini …” Kataku bercanda.
“Ah, nggak juga …” Jawab ibu masih dengan suara sendu.
Aku tidak melanjutkan candaanku karena ibu terlihat menjadi sedih. Beberapa menit kemudian, kami sampai di puncak. Aku parkir di tempat yang disediakan pengelola kemudian aku dan ibu berjalan menuju kawah. Tiba-tiba ibu memeluk tanganku dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Awalnya aku cukup heran dengan tingkah ibu yang tiba-tiba mesra seperti ini. Namun setelah itu aku sangat menikmatinya. Kami berjalan seperti pasangan kekasih yang sudah lama tidak berjumpa. Tak lama, kami sampai di pinggir kawah.
“Indah ya …” Lirih ibu yang masih memeluk tanganku.
“Iya …” Kataku berdusta karena aku sama sekali tidak menyukai tempat ini.
“Dulu mama sering ke tempat ini …” Kata mama seperti sedang mengenang masa indahnya dulu kala.
“Sendiri?” Candaku padahal aku tahu kalau ibu pasti ditemani seseorang.
“Nggak lah … Berdua …” Lirihnya syahdu.
“Sama pacar mama itu …” Ucapku.
“Iya …” Ibu mendesah berat. Dan aku yakin kalau ibu sedang membayangkan laki-laki itu.
Aku menoleh heran ke arah ibu karena tanganku dipeluknya semakin erat dan terasa bergetar. Wajah ibu seperti bulan lelap tertidur yang berdinding kelam dan kedinginan. Perasaan sedih terlukis jelas di wajah ibu. Ada apa dengannya …
“Ma …” Kataku dan ibu terlihat terkejut.
“Eh … Iya … Apa?” Ucap ibu gelagapan.
“Mama kenapa?” Tanyaku sambil mengulas setetes air yang keluar dari ujung matanya.
“Ah, nggak … Kamu mau ngopi dulu?” Ibu seperti mengalihkan pembicaraan.
“Kalau mama sudah tidak ada lagi yang ingin diingat di sini … Sebaiknya kita pulang saja …” Ajakku.
“Oh … Ya udah, kita langsung pulang saja …” Ucap ibu menyetujui usulku.
Akhirnya kami pun meninggalkan lokasi wisata ini. Mobilku turun menuju gerbang keluar lokasi. Tak lama, kami kembali ke jalan utama. Hanya sebentar di puncak tadi tetapi banyak menimbulkan pertanyaan di kepalaku. Ibu sepertinya sedang mengingat-ingat pacarnya dahulu. Sepertinya ibu tak kuasa untuk bisa menghilangkan rasa cinta itu dari hatinya. Aku yakin selama di puncak tadi, ibu pasti sangat tersiksa ketika mengingat kembali masanya itu. Aku genggam jemari ibu oleh tangan kiriku. Erat sekali. Diam, sepi. Cuma hati yang bicara.
Bersambung.