Mama Yang Terbaik Part 3

0
5895

Waktu terus berlalu, hari terus berganti, melalui ritme kehidupan yang aku lalui. Tanpa kusadari rasa yang ada di hatiku pada ibu semakin mendalam. Aku tak tahu nama rasa itu namun yang jelas aku selalu bergairah saat berdekatan dengannya. Aku pun sulit membedakan antara cinta dan nafsu belaka. Bagiku, cinta dan nafsu bak dua sisi koin. Selalu berdampingan di manapun, di mana ada cinta di situlah nafsu yang bergelora.

Banyak kata bijak mengatakan, ‘segala sesuatu yang kita lakukan pasti akan terbalaskan’. Kiasan dalam bahasa Indonesia seperti ini, ‘apa yang kita tanam, pasti akan kita petik’. Tetapi, aku mengartikannya lebih dari itu. Ketika kita menyukai seseorang, maka dia akan menyukai kita. Tidak mesti hari itu juga, mungkin nanti. Yang pasti dia akan membalasnya. Oleh karena itulah aku tidak pernah merasa bosan memberikan perhatian lebih kepada ibu agar ia bisa membuka hatinya untukku.

Hari Jumat, jadwal kuliahku tak begitu padat. Kesibukanku hari ini hanya menjalani dua mata kuliah dari pukul tujuh pagi hingga pukul sebelas. Aku segera pulang menuju rumah. Aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku sudah tidak sabar untuk menemui ibu di rumah. Jarak kampus dan rumah tidaklah begitu jauh dan hanya setengah jam berselang mobilku sudah terparkir di depan rumah. Aku pun masuk ke dalam rumah dan mendapati ibu yang sedang menonton televisi di ruang tengah.

“Ma …” Sapaku sambil mencium pipi ibu lalu duduk di sebelahnya.

“Kamu sudah makan, sayang …?” Tanya ibu dengan wajah cerah.

“Bagaimana kalau kita makan di luar …” Ajakku.

“Hhhhmm … Boleh juga … Oke, mama juga suntuk di rumah terus … Mama siap-siap dulu …” Ajakku disambut baik oleh ibu.

Aku pun masuk ke dalam kamar dan langsung saja mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian rapih, aku melangkahkan keluar menunggu ibu berdandan di ruang tamu. Tak seberapa lama, ibu mendatangiku dengan penampilan yang sangat anggun. Mataku tak berkedip melihat kecantikan ibu. Ia pun hanya tersenyum lalu mengulurkan tanganya kepadaku.

“Ayo!” Ajaknya sangat lembut dan sedikit manja.

“Mama seperti bidadari yang jatuh di hadapanku.” Kataku. Ibu tersipu malu.

“Hi hi hi … Rayuan gombalmu itu terdengar aneh, tapi mama suka.” Ucap ibu sambil mencubit pinggangku.

Kami berjalan sambil bergandengan tangan menuju mobil yang terparkir di depan rumah. Aku bukakan pintu mobil buat dia. Aku persilahkan dia masuk. Setelah itu aku memasuki mobil dan duduk di belakang setir. Sedikit injakan pedal gas, mobil mulai bergerak perlahan dan terasa halus dalam menyalurkan tenaga. Ibu langsung membuka pembicaraan saat mobil mulai bergerak perlahan. Kami pun mengobrol dengan seru. Sesekali bercanda untuk menghilangkan kejenuhan di perjalanan sehingga tercipta suasana ceria.

Setelah hampir dua jam, kami pun sampai di sebuah restoran yang letaknya di pinggir pantai. Di restoran ini, kami bisa menikmati seafood segar dan hembusan angin pantai yang sejuk. Ada ikan segar, cumi bakar, udang goreng, kepiting yang bisa dinikmati dengan segelas es kelapa yang mantap segarnya. Restoran ini memang sangat pas dikunjungi yang memang ingin menikmati makan enak sambil memanjakan mata dengan pemandangan pantai indah. Ya, kami sangat menikmati makan sore ini.

“Maaf ma …” Kataku sambil mengulas lembut bekas makanan yang menempel di bawah bibir ibu.

“Kamu ini nyuri-nyuri kesempatan aja …” Ibu cemberut. Aku pun mengulum senyum sambil memandang ibu lembut cukup lama.

“Mama cantik sekali …” Kataku sangat pelan.

“Ih, gombal terus …!” Ibu mengulum senyum yang ditahan.

“Ini bukan gombal … Serius, mama sangat cantik.” Tegasku. Ibu tersipu.

“Udah ah … Malu …!” Kata ibu.

“Malu sama siapa?” Candaku sembil tersenyum.

“Tuh liat! Orang-orang rame sekali!” Ibu mendelik lalu melanjutkan makannya.

“Ah … Tunggu ma …!” Tiba-tiba aku kebelet pipis.

“Mau ke mana?” Tanya ibu.

“Toilet !!!” Aku pun agak tergesa-gesa mencari toilet.

Aku menolehkan wajah ibu ketika mendengar ucapan konyol ibu yang memeluk lenganku erat ini. Sejak kapan aku berprofesi sebagai tentara? Sejak kapan pula aku menjadi suaminya? Tapi, aku langsung menatap si orang asing itu dengan tatapan tajam. Aku coba mengintimidasinya dengan tatapan marah. Demi apapun akan kulakukan untuk menjaga ibu bahkan jika nyawaku harus kupertaruhkan sekali pun. Akhirnya orang itu pergi meninggalkan kami.

“Begitulah resikonya orang cantik.” Kataku sambil duduk di sebelah ibu.

“Emangnya … Mama ini cantik ya? Ih, aneh aku kalo ada yang bilang cantik. Kan temen-temenmu tuh banyak yang beneran cantik.” Kata ibu semakin mengeratkan pelukannya pada lenganku.

“Buktinya ada orang bule yang godain mama …” Kataku.

“Terima kasih, sayang …” Tiba-tiba ibu mencium pipiku.

Dan selanjutnya percakapan pun mengalir. Kami terbawa oleh setiap cerita-cerita yang kami ucapkan, terkadang aku sisipkan lelucon-lelucon yang akhirnya arah pembicaraan pun meluas ke hal-hal yang lain. Saat ini aku ungkapkan perasaanku dengan hal-hal yang romantis layaknya dongeng dan cerita-cerita fiksi. Aku bawa alam sadar ibu ke arah hubungan sepasang kekasih. Menjauhkan pemikirannya sebagai ibu kepada anak.

“Aku sangat senang waktu mama ngaku kalau aku suami mama …” Kataku sambil memeluk tubuhnya dan aku berikan ciuman di pucuk kepalanya yang sedang bersender di dadaku.

“Hhhmm …” Gumamnya namun terasa ibu mengeratkan tangannya yang melingkar di pinggangku.

“Aku ingin sekali menjadi suamimu …” Bisikku sangat pelan dan kembali terasa pelukan ibu semakin mengerat.

Suasana menjadi hening di antara kami berdua, hanya sesekali desah nafasku dan ibu yang terdengar tak teratur lagi. Tak lama, ibu menguraikan pelukannya. Walau tersenyum tapi air mukanya nampak sedih. Sepertinya ada sesuatu yang berat yang ibu pendam di dalam hatinya. Ibu kemudian menatapku dengan tenang.

“Kita pulang, yuk!” Ajak ibu dan langsung kujawab dengan anggukan.

Aku pun membayar makanan dan setelah membayar, kami pun keluar dari restoran. Genggaman tangan ibu tidak pernah lepas dari tanganku sampai kami berada di dalam mobil. Aku lajukan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah. Sepanjang perjalanan, aku mencoba bercerita lucu hanya sekedar berupaya agar suasana lebih ceria. Aku ingin mendung di wajah ibu hilang. Dan lumayan juga hasilnya. Ibu bisa tersenyum dan ngobrol denganku hingga tak terasa kami sudah sampai di rumah.

Kami pun bersama-sama ke dalam rumah melalui pintu samping di garasi. Waktu itu hari sudah gelap dan gerimis. Suasana rumah seperti biasa sepi, hanya kami saja sebagai penguninya karena ayahku sedang bertugas di luar daerah, maklum lah ayah sering meninggalkan rumah karena beliau adalah seorang tentara yang mengabdi untuk nusa dan bangsa. Aku dan ibu lantas duduk di sofa ruang tengah. Kemudian ibu tersenyum menatapku lekat-lekat, seperti tidak ingin melihat ke arah mana pun lagi selain membidik kedua manik mataku.

“Kamu tampan sekali, sayang … Jujur, mama pun punya keinginan yang sama denganmu … Mama ingin kehangatan tubuhmu … Tapi, sebelum itu mama ingin mengatakan sesuatu padamu …” Tiba-tiba saja ibu berkata yang sangat membuatku tertarik sekaligus penasaran.

“Ceritakan, ma … Aku akan mendengarkannya …” Responku lalu mengambil kedua tangannya.

“Sebelum mama bercerita … Kamu harus berjanji dan bersumpah, kalau kamu tidak akan marah, sakit hati dan kecewa dengan semua yang diceritain mama nanti …” Ibu meminta kepastian.

“Aku bersumpah akan menerima dengan lapang dada, apa-apa yang akan mama ceritakan padaku.” Tegasku sungguh-sungguh.

“Baiklah … Mama pegang sumpahmu itu …” Ucap mama lalu menghela nafas berat. “Sayang … Sesungguhnya mamamu ini adalah pendosa … Rasa-rasanya dosa mama sudah tidak bisa terampuni lagi …” Cerita ibu terhenti. Berkali-kali ibu menarik nafas sangat dalam dan menghembuskannya ke luar perlahan-lahan. Ada kegamangan di sana, ada beban yang sangat berat yang tengah ia pikul sendiri.

“Apa pun mama … Aku akan tetap menyayangi mama …” Aku coba memberikan tenaga agar ibu melanjutkan ceritanya.

“Semua itu berawal dari rasa kesepian mama … Papamu terlalu sibuk dengan karirnya … Mama merasa dinomorduakan dan diacuhkan oleh papamu … Terlebih, papamu sering mengabaikan kebutuhan mama, kebutuhan batin mama … Jadinya, mama mencari itu semuanya di luar … Ditambah lagi, mama ini perempuan yang mudah tergoda dan mudah jatuh cinta sama laki-laki … Ya, mama akhirnya terjerumus dalam lembah dosa yang mama buat sendiri …” Ibu bercerita sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku melihat air muka ibu telah berubah menjadi mendung kembali.

“Ma … Aku tetap akan menyayangi mama …” Kataku lalu kurangkul tubuhnya kuat-kuat. Ibu diam saja. Bersandar pada tubuhku, ibu lunglai seperti tidak bertenaga.

“Bima … Anakku … Sebenarnya mama sudah meninggalkan tabiat buruk itu hampir setahun yang lalu … Mama ingin hidup normal … Tapi kamu selalu menggoda mama … Mama seperti terseret-seret lagi … Terus terang, sekarang mama bingung, antara ya dan tidak …” Ucap ibu lagi. Tiba-tiba saja jantungku berdebar dengan kencangnya dan nafasku terhempas kasar. Seketika itu juga bisikan-bisikan setan berdengung di telingaku, membujukku agar mengambil langkah yang menyenangkan. Dan tentu, itulah yang aku pilih.

“Menurutku kebahagian itu pilihan! Kebaikan dan keburukan bukan standar membuat kita bahagia. Lagi pula, tidakkah kita patut bahagia karena kebahagiaan itu anugrah? Klise mungkin kedengarannya. Tetapi hanya jika kita mau mendalaminya, rasanya nggak ada alasan untuk tidak bahagia.” Kataku mencoba mempengaruhinya.

“Walaupun itu salah?” Tanya ibu sambil bangkit dari pelukanku. Ia menatapku lagi dalam-dalam.

“Ya …” Tegasku sambil tersenyum. “Jauhkan pikiran khawatir tentang masa depan. Pikirkan dengan hati-hati, apa yang membuat mama tidak bahagia sekarang? Apa yang menghalangi mama untuk merasa bahagia saat ini? Setelah mendapat jawabannya, ambil solusi agar mama bisa bahagia …” Lanjutku lagi.

“Terima kasih …” Ucap ibu sambil mengusap wajahku.

Ibu berdiri sambil tersenyum lalu berjalan memasuki kamarnya. Sungguh, aku sangat berharap ibu memilih jalan sesuai harapanku, supaya aku bisa ‘bersenang-senang’ dengannya. Aku dan ibu bisa berbagi kebahagiaan dan kenikmatan surga dunia. Sebagai lelaki, aku tertarik dengan kecantikan ibu, dan sering sekali membayangkan kemolekan tubuhnya. Bayangan itu bahkan semakin liar seolah ada yang mendorongku agar melakukan lebih. Nafsu birahiku meningkat sehingga ingin sekali merasakan sensasi bersetubuh dengan ibuku yang menggairahkan tersebut. Aku duduk termenung di sofa sambil merasakan gairahku yang bergejolak hebat di tubuhku.

“Bima …!” Tiba-tiba terdengar suara panggilan ibu dari dalam kamarnya.

Lekas-lekas aku berdiri dan berjalan ke kamar ibu. “DEUUGH!!!” Jantungku terasa ingin berhenti berdegup saat itu. Mataku nanar melihat pemandangan merangsang yang ada di hadapanku. Ibu sedang berdiri di depan cermin dengan mengenakan gaun terusan ketat berwarna merah sejengkal di atas lutut. Lekuk tubuhnya sangat terlihat, apalagi bentuk baju di bagian dadanya itu sangat lebar dan turun, jadi belahan dada ibu sangat jelas terlihat. Payudaranya terlihat besar dan kencang. Ditambah lagi bokongnya yang bulat dengan sepasang paha yang mulus menopang tubuhnya yang bahenol. Demi apapun, seumur hidupku baru kali ini melihat dandanan ibu seperti ini.

“Bagaimana baju mama … Masih cocok gak?” Tanya ibu sambil melenggak lenggokkan badannya di depan cermin.

“Luar binasa … Mama sexy banget …” Kataku kagum sekagum-kagumnya. Tak menyangka ibu se-sexy ini. Menantang kelaki-lakianku, menggiring hasrat untuk menjamahnya.

“Tapi perut mama keliatan besar ya …” Ucap ibu sambil memegangi perutnya.

“Nggak kok ma … masih ramping … Duh ini pantat …!” Aku benar-benar lepas kendali. Aku remas pantatnya saat tepat di belakangnya. Ibu sungguh membuatku terbakar.

“Kamu suka bagian yang mana dari tubuh mama?” Tanya ibu sangat menggoda. Tentu saja aku mendengus-dengus macam banteng liar yang sedang birahi.

“Aku suka semuanya … Apalagi telanjang …!” Bisikku serak di telinga ibu sambil merabai pinggulnya.

“Lakukan! Tunggu apa lagi!” Ibu menantangku dengan suara mendesah.

Tidak peduli siapa pun orangnya, ibarat kucing mendapat mangsanya, ketika naluri itu menemukan pelampiasan, maka otomatis, refleksitas gerakan tangan pun terjadi. Tanganku mengambil bagian bawah gaun yang ibu kenakan dan menariknya ke atas hingga melewati kepalanya. Kali ini ibu tidak mengenakan apa-apa lagi di baliknya. Tubuh bugil ibu hampir terlihat tanpa cacat. Aku sampai harus menelan ludah berkali-kali menahan libidoku yang langsung naik.

Hanya dalam hitungan detik, ibu sudah berada dalam gendonganku. Matanya beberapa kali berkedip melihatku. Sesaat kulihat senyum dari bibir mungilnya, begitu menggemaskan. Aku bawa ke tempat tidur lalu meletakkan tubuh indahnya di atas kasur. Aku pun melucuti seluruh pakaianku dengan dada bergemuruh. Tatapanku tak lepas dari ibu dan wanita sexy itu semakin kutatap semakin bergaya merangsang, sehingga memancing birahiku lebih tinggi. Dengan gaya menantang, ibu memainkan payudaranya sendiri serta mengelus-elus selangkangannya.

Aku pun naik ke tempat tidur. Dengan nafas memburu dan mata yang diselimuti kabut birahi, aku segera mengatur posisi di antara pahanya. Aku buka paha ibu lebar-lebar sehingga selangkangannya betul-betul terbuka. Kali ini aku bisa melihat dengan jelas organ intimnya yang dihiasi bulu-bulu kemaluan yang sangat lebat. Untuk bisa melihat lubang vaginanya, aku memang harus menyibak rambut-rambut yang menutupinya dengan kedua tanganku. Bibir luar vagina ibu tampak tebal dan kasar karena sudah banyak kerutan dan warnanya coklat kehitaman. Di bagian dalam lubang vaginanya yang berwarna hitam kemerahan, ada lipatan-lipatan daging agak berlendir dan sebuah tonjolan. Tidak seperti ukuran vaginanya yang besar, tebal dan tembem, klitoris ibu relatif kecil. Hanya berbentuk tonjolan daging kemerahan di ujung atas celah bibir luar kemaluannya yang sudah berkerut-kerut.

“Indah sekali …” Gumamku.

“Kamu menyukainya, sayang …?” Goda ibu sangat genit.

“Tentu …” Kataku bernafsu.

Aku belai vaginanya dari atas hingga ke bawah. Aku buka lipatan itu dengan jemariku, itilnya menyeruak ke atas. Ibu jariku mengusap dan membuka bibir vaginanya, maka jari tengahku masuk sekitar dua ruas ke dalam lubang guanya. Kuusap dan kutekan bagian depan dinding vaginanya dan jariku sudah menemukan sebuah tonjolan daging seperti kacang. Setiap kali aku memberikan tekanan dan mengusapnya, ibu mendesis.

“Ogghh.. terus sayang.. nikmat sayang.. oogghh.. oogghh.. yeeaahh.. nikmat sayang.. terus sayangg..” Erangan ibu terdengar seperti yang aku harapkan.

Bentuk vagina ibu menyerupai buah ranum dengan belahan di tengah, menggiurkan sekali. Belahan itu lah yang segera aku ciumi, aku telusuri dengan lidahku, membuat ibu merintih nikmat dan memperlebar kangkangannya. Aku pun membantu dengan tanganku, mendorong kedua paha ibu agar lebih jauh terbuka. Kewanitaan ibu seperti direntang, kedua bibir-bibirnya yang tebal itu terkuak, menampakkan lembah merah-muda yang halus seperti sutra dan licin seperti diminyaki. Aku menjilati bagian yang terkuak itu, mendesak-desakkan lidahku yang panjang ke dinding-dinding kewanitaan ibu. Dan tak lama lidahku merasakan asin, vagina ibu mulai mengeluarkan lendir birahinya.

“Oocchh … aacchhh … ngggh …” Cuma itu yang bisa keluar dari mulut ibu. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan kenikmatan yang sedang dirasakannya.

Aku sangat yakin kalau ibu sedang merasakan rasa geli dan nikmat yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Apalagi ketika lidahku bermain-main di daging kecil yang menonjol dalam lempitan bagian atas kewanitaannya. Aku menggunakan jari-jariku untuk menguak persembunyian klitorisnya itu, menarik ke atas kulit tebal yang menyembunyikannya, sehingga tonjolan kecil yang berdenyut-denyut lemah itu kini bebas terbuka. Dengan ujung lidahku, aku menjilati ‘si kecil’, mengirimkan sejuta kenikmatan yang menjalar cepat ke seluruh tubuh ibu, membuat wanita itu merintih-rintih dan mengerang keras.

Aku yang sudah sangat bernafsu menyudahi jilatanku kemudian naik dan menindih tubuh ibu. Kami berciuman lagi dan terasa tangan ibu meraih penisku. Tangannya mengurut-urut penisku kemudian menuntun senjata pusaka itu ke lubang vaginanya. Aku melepaskan ciuman, aku memandangnya dan ibu tersenyum sambil menganggukan kepala memberi tanda kepadaku untuk segera mengeksekusinya. Aku tekan pinggulku, sedikit demi sedikit penisku memasuki lubang vagina ibu. Semakin lama semakin dalam, hingga seluruh batang penisku amblas tertelan lubang vaginanya.

“Aaaaahhhh …..” Desah ibu terdengar nikmat.

Benar-benar penisku terasa dijepit. Aku menarik penisku kembali secara amat perlahan. Gesekan dinding vagina dengan kulit penisku begitu nikmat kurasakan. Setelah hampir sampai ke ujung, kutekan lagi perlahan sampai mentok. Demikian seterusnya dan dengan bertahap menambah kecepatan. Ibu pun merintih-rintih pelan saat liang kemaluannya sedang dipompa oleh tombak kejantananku.

“Aaacchh … aacchh … aacchhh … aaccchhh …” Ibu mengerang setiap kali kejantananku menerobos keluar-masuk. Setiap mili gerakanku menimbulkan percikan nikmat. Aku juga menikmati cengkraman otot kenyal di bawah sana yang mengurut-urut kejantananku. Batang kejantananku terasa seperti diremas-remas. Masih ditambah lagi dengan jepitan liang senggama ibu yang sepertinya punya kekuatan magis untuk menyedot meluluh-lantakkan otot-otot kejantananku.

Sekitar dua puluh menit berlalu, tingkah ibu sudah tak karuan. Selain merintih dan memekik, dia gerakkan tubuhnya dengan liar. Dari tangan meremas sampai membanting kepalanya sendiri. Semuanya liar. Aku merasakan liang senggama ibu semakin berdenyut sebagai pertanda ibu akan mencapai puncak pendakiannya. Akupun asyik memompa sambil merasakan nikmatnya gesekan. Kadang kocokan cepat, kadang gesekan pelan. Penisku mampu merasakan relung-relung dinding vaginanya. Tiba-tiba tubuh ibu mengejang kuat-kuat, jemarinya meremas punggungku, punggungnya melengkung ke atas, matanya terbeliak-beliak, serta keseluruhan tubuhnya bergetar dengan hebat tanpa terkendali, seiring dengan meledaknya kenikmatan orgasme di vaginanya.

“Biimmaaa … aduuuh … aahhhhh … aaduuhh … nikmaaatt … ssaayyaaangg …!” Jerit nikmat ibu.

Aku tersenyum puas melihat tubuh ibu terguncang-guncang karena orgasme selama 15 detik tanpa henti-hentinya. Kemudian tangan ibu dengan eratnya menekan pantatku ke arah selangkangannya sambil kakinya menggelepar-gelepar ke kiri kanan. Aku pun terus menggerakkan penisku untuk menggosok klitoris ibu. Setelah orgasmenya selesai, tubuh ibu langsung terkulai lemas tak berdaya, terkapar, dengan kedua tangan dan kakinya terbentang melebar ke kiri kanan. Aku pun akhirnya menghentikan genjotanku. Kukecup bibir ibu lumayan lama, kemudian kupandangi wajahnya yang berkeringat dan masih terpejam itu.

“Ma …” Kataku pelan.

“Hhhhmm …” Jawabnya sambil membuka mata.

“Gimana?” Tanyaku bercanda. Aku tempelkan dahiku ke dahinya.

“Yang namanya ngentot pasti enak …” Ibu menyemburkan kata-kata vulgar itu membuatku aneh tapi semakin melecut birahiku.

“Berarti mama suka aku entot …” Kataku membalas ucapan vulgarnya.

“Hi hi hi … Ini memekku pengen lagi dientotin …” Ucap ibu sangat nakal.

Aku seperti tidak mengenal ibuku yang anggun lagi. Aku seperti sedang menyetubuhi wanita jalang. Namun ini semakin membuatku sangat bergairah. Dan tiba-tiba ibu mendorong tubuhku hingga penyatuan tubuh kami terlepas. Ibu bergerak dan memposisikan tubuhnya menungging, dan melebarkan kakinya.

“Ayo, say … Coblos dari belakang!” Ucapnya lagi dan sungguh aku terkesiap. Aku setengah tak percaya dengan yang kusaksikan saat ini. Sangat di luar dugaan, ibuku menjadi seperti ini. Lagi-lagi sikapnya itu membuat birahiku semakin melambung.

Aku menggerakkan kejantananku untuk mulai mendobrak dari belakang. Aku dorong kembali kejantananku, perlahan namun bertenaga. Dan aku menusukkan kejantananku dari arah belakang tubuhnya dengan gerakan maju mundur. Rasanya, kejantananku bertambah panjang saja, menelusup jauh ke dalam tubuh ibu. Tanganku meraih ke depan, meremas payudara ibu yang bergelantungan-bergoyangan karena dorongan-dorongan tubuhku. Dengan posisi seperti ini, segera saja ibu kembali mengerang-ngerang merasakan kegelian-kegatalan baru.

Aku pun merasakan kenikmatan baru. Kini aku bisa leluasa mengeluar-masukkan kejantananku, memutar-mutarnya sesekali, dan menggesek-gesekkannya ke dinding kenyal-licin. Nikmat sekali rasanya liang wanita yang sudah orgasme, karena seperti hidup dan bergelora. Kewanitaan ibu kuat mencekal, kenyal dan tidak terlalu dibanjiri cairan cinta. Karena itu, nikmat sekali rasanya mengeluar-masukkan kejantanan di liang yang kenyal-padat seperti ini.

“Aucchhh … Saayy … eeenakkk … Saayy …” Ibu mendesah lembut.

Aku himpit tubuhnya dari arah belakang sambil menciumi punggungnya yang putih bersih. Tanganku memeluk tubuhnya dari arah belakang sambil jemari kedua tanganku memilin-milin lembut puting susunya. Lalu salah satu tanganku meninggalkan payudara ibu, menjalar ke bawah, lalu menggerayangi klitorisnya. Tak ayal, ibu menggelinjang, lalu mengerang.

“Aaahh … yaacchh … ituuu saayyyy … Ooohhh …!” Ibu menyatakan persetujuannya.

Aku pun tanpa ragu-ragu mulai menggosok-gosok ‘si kecil’ yang semakin menonjol itu. Mula-mula cuma menggosok halus, tetapi semakin lama semakin keras, dan akhirnya bukan lagi menggosok. Aku memilin-meremas tonjolan itu, membuat ibu terus merintih-rintih keenakan. Kenikmatan yang datang dari tonjolan itu kini berbaur dengan kenikmatan yang datang dari serudukan-serudukan kejantananku dan dari satu payudaranya yang diremas semakin membesar. Ibu semakin mendesah-desah untuk mengekspresikan kenikmatannya. Aku pun merasakan hal ini. Maka aku mempercepat ayunan pinggulku, menghujam lebih keras dan dalam, meremas-remas lebih gemas, dan menggosok-memilin lebih tegas.

“Ayo ssaayyy … lebih dalam lagi, lebih dalam lagi … aahhh …!” Ibu mengerang-erang lembut. Peluh di tubuh kami bercucuran karena semakin panasnya ruangan ini, ditambah dengan panasnya bara birahi yang berkobar-menyala. Sesekali aku menjilati peluh yang menetes di leher dan punggung mulusnya.

Aku terus menghujani vagina ibu dengan liar, begitu buas, begitu brutal dan lepas kontrol. Ruangan kamar dipenuhi oleh suara perpaduan alat kelamin kami juga desahan, erangan, umpatan bahkan jeritan nikmat. Semua ada menghiasa malam yang panas ini. Akhirnya aku terkepung dalam kenikmatanku sendiri, halusinasiku melayang bebas. Penisku semakin panas, ujungnya seperti gunung berapi yang siap memuntahkan lahar panas.

“Ooocchh … sayang … Aku mau keluaaaaar…!” Aku mengejang ketika puncak kenikmatanku hampir tiba. Aku semakin mempercepat gerakanku, dan irama kami semakin menderu sebelum akhirnya aku mencapai puncak nikmat itu.

“Creett … creett … creett … creett … creett …!” Aku meledak di dalam kewanitaannya.

Lima detik kemudian bersamaan dengan orgasmenya yang kedua, ibu pun berteriak keras …

“Auughhhh … Saayy … Aku juga enaakkk … aku … oooocchh …!!” Jerit ibu keras sekali. Lalu kepalanya mendongak dan tubuhnya menggeliat-geliat liar, hampir saja lepas dari rangkulanku.

Klimaks datang dengan sangat tiba-tiba dan cepat, tidak lagi seperti air bah yang menggelandang, tetapi seperti pijar kilat di langit. Aku menggigit lembut leher ibu sembari memeluk erat tubuhnya, sementara kejantananku masih tertanam erat di dalam lubang surgawinya sambil menikmati denyutan lembut bibir kewanitaannya. Tubuh ibu kembali berguncang-guncang dan bergeletar hebat. Erangannya kembali memenuhi ruangan.

Ibu merosot terjerembab, tertelungkup di kasur karena tak sanggup menahan beban tubuhnya sendiri yang berguncang-guncang. Tak lama berselang, kejantananku terlepas dari liang kewanitaannya. Cairan cinta berleleran di sela-sela paha ibu, cepat-cepat aku menghapusnya dengan tissue yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Tubuh ibu yang tertelengkup tampak berguncang-guncang seperti orang tersedu-sedan. Keringat tipis mulai tampak di punggungnya, seperti lapisan plastik berkilat-kilat. Seksi sekali tubuh molek yang putih mulus itu tampak dari belakang. Aku mengusap-usap buah pantat ibu yang menonjol padat, seakan-akan sedang berusaha menenangkan wanita yang sedang terguncang oleh orgasme itu. Nafas kami masih tersengal-sengal dan kami berdua terkulai lemas bermandikan keringat. Ibu membalikkan tubuhnya dengan lunglai. Dipandangnya aku yang masih berlutut dengan kejatananku yang mulai melemas.

“Kamu ternyata pintar membahagiakan wanita di ranjang.” Kata ibu pelan sembari tangannya mempermainkan penisku yang sudah setengah layu.

“Mama juga … Mantap …” Balasku sambil mempermainkan buah dadanya.

“Sejak saat ini, jangan panggil aku mama lagi … Panggil saja nama atau kamu atau apapun yang kamu mau …” Pinta ibu yang membuatku heran.

“Loh kenapa?” Tanyaku.

“Karena kamu bukan lagi anakku tapi suami bayanganku …” Ujar ibu sambil merentangkan tangannya ingin dipeluk.

Aku tersenyum dan tidak ada keraguan saat aku memposisikan diri di atas tubuh Wati. Aku menyangga tubuhku sendiri dengan siku, menjaga agar dadaku tidak menindih tubuh Wati. Lama, kedua mata kami yang berkabut gairah itu saling bertatapan. Karena nafsu dan cinta, kami telah melupakan batas-batas yang seharusnya tidak dilakukan. Aku sendiri sudah tidak peduli dengan dosa, yang aku tahu, aku harus memiliki dan menikmatinya.

Bersambung.