Mengalahkan Gadis Bagian 2 Part 12

0
1113

Mengalahkan Gadis Bagian 2 Part 12

Mata Angin

“Eh eh, udah denger kabar semalam belum?” Tika yang dikenal sebagai biang gosip di kantor tiba-tiba saja mendatangi teman-temannya yang sedang bersiap untuk memulai pekerjaan mereka.

“Apalagi Tik? Ada artis yang cerai lagi?” ujar Wulan menanggapi celotehan Tika.

“Yee bukan. Ini bukan gosip artis, ini berita, fakta.”

“Terus apa dong? Mau bicarain Nadya lagi?” Lia memotong saat Tika akan melanjutkan omongannya.

“Bukan ih, malah ngomongin Nadya. Orangnya juga udah nggak ada kan.”

Ya, Nadya memang sudah tidak lagi bekerja di kantor itu. Beberapa minggu setelah kejadian ponsel suaminya diserang oleh hacker dan perdebatannya dengan Lia di kantor, dia memutuskan untuk berhenti bekerja. Memang sungguh sangat disayangkan dia harus berhenti di usia yang masih sangat produktif, apalagi statusnya sebagai seorang pegawai negeri.

Setelah kejadian hari itu, Nadya tak pernah lagi masuk kerja. Dia dan suaminya merasa, bahwa hacker yang menyerang suaminya itu adalah orang yang memiliki hubungan atau mungkin kerabat dari salah seorang rekan kerjanya. Hal ini karena dari sepengetahuannya hacker tersebut sudah 2 kali beraksi untuk menyelamatkan Ara dan Lia. Karena hal itulah membuat Nadya tak lagi berani untuk kembali ke kantor.

Akhirnya setelah lebih dari 2 minggu tidak masuk kerja, dia datang ke kantor dengan membawa surat pengunduran diri. Dia datang dengan wajah yang terlihat seperti orang ketakutan. Awalnya dia berniat untuk menemui Pak Hamid, namun ternyata Pak Hamid sedang dirawat di rumah sakit karena mengalami kecelakaan serius, karena itulah akhirnya dia menyampaikan maksudnya kepada orang yang ditunjuk untuk menggantikan Pak Hamid. Setelah itu dia pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan teman-temannya sama sekali.

Setelah itu tak pernah lagi teman-temannya melihat Nadya, bahkan ketika Eko mengunjungi Nadya dan suaminya untuk mengantarkan undangan pernikahannya ternyata mereka sudah pindah, rumahnya sudah kosong. Ketika bertanya kepada tetangganya, katanya mereka pindah ke luar kota, tapi tak tahu kemana.

“Emang berita apa sih Tik kok sampai heboh gitu?” tanya Ara dengan kalem, mencoba menengahi perdebatan teman-temannya itu.

“Jadi gini, semalam itu ada perampokan bank di empat tempat di kota ini pada waktu yang bersamaan. Kalian tahu kan ini akhir bulan, jadi orang-orang bank pada lembur. Nah, karyawan bank yang dirampok itu pada dibunuh semua, bahkan yang perempuan diperkosa dulu sebelum dibunuh, ih ngeri.”

“Hah masak sih Mbak? Kok nggak ada beritanya semalam di TV?” Indah ikut berkomentar mendengar cerita Tika.

“Semalam emang belum ada Ndah, tapi kan pagi ini udah. Emang kalian nggak ada yang nonton berita pagi?” tanya Tika yang dijawab dengan gelengan kepala oleh teman-temannya, membuatnya menepuk dahinya.

“Makanya ini aku telat, karena tadi nonton berita itu duluan.”

“Emang kejadiannya dimana aja Tik?” tanya Lia yang semakin antusias dengan berita itu.

“Di bank negara di masing-masing kabupaten Li. Dan herannya, waktu kejadiannya itu sama persis lho, kayak kompakan gitu mereka.”

“Kok tahu kalau waktunya sama Mbak?” tanya Indah dengan polosnya.

“Dari rekaman CCTV sayang, kan ada nunjukin jamnya itu,” jawan Tika yang sedikit jengkel dengan kepolosan Indah.

“Oh dari CCTV tho. Berarti udah ketahuan dong Mbak siapa perampoknya? Kan ada rekamannya itu,” kembali Indah bertanya dengan wajah polosnya, membuat semua menahan tawa, tapi Tika malah semakin jengkel.

“Ya nggak lah Indah, kan mereka pakai topeng. Masa iya orang ngerampok di bank yang jelas ada CCTV-nya ngelihatin mukanya. Kami gimana sih?!” seketika tawa teman-temannya meledak melihat reaksi Tika. Sementara Indah masih dengan wajah polosnya memandang bingung ke semuanya, seolah-olah mimik wajahnya mengatakan, ‘kenapa sih? Emang ada yang lucu ya?’

“Waduh waduh, ini para emak pagi-pagi udah ngegosip aja sih bukannya kerja, udah jam berapa ini?” tiba-tiba Eko datang dari belakang mereka.

“Bukan gosip Ko, ini lagi ngomongin perampokan semalem itu lho, kamu tahu kan?” Tika menjawab memberikan alasan kepada Eko.

“Oh itu? Iya aku tahu kok. Perampokan yang aneh, sangat terorganisir. Dan sepertinya, kayak nantangin polisi.”

“Nah tuh Eko juga tahu. Lha kalian ini gimana bisa nggak tahu, update dong berita kayak gini, jangan gosip aja,” ujar Tika jumawa, merasa mendapat dukungan dari Eko.

“Eh, yang ada juga kamu yang biasanya ngegosip Tik,” sergah Lia tak terima.

“Emang aneh gimana Ko? Kok kamu bilang kayak nantangin polisi?” tanya Ara tanpa memperdulikan Lia dan Tika. Semua terdiam dan langsung melihat ke Eko, menunggu jawaban dari lelaki itu.

“Jadi gini, yang pertama, waktu perampokan di keempat tempat itu sama persis, padahal sudah jelas kan jarak masing-masing tempat itu sangat jauh. Yang lebih aneh lagi adalah, mereka meninggalkan bank itu di waktu yang bersamaan juga, yang udah beres urusannya pun terlihat duduk-duduk menunggu, dan ketika waktu menunjukkan jam 10 malam, mereka semua kompak meninggalkan bank masing-masing.”

“Yang kedua, saat dan setelah mereka melakukan aksinya itu mereka sama sekali tak peduli dengan adanya CCTV, bahkan tidak ada niat untuk merusak kamera atau hasil rekamannya. Mereka seperti sengaja ingin memperlihatkan perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan itu kepada semua orang.”

“Dan yang ketiga, mereka meninggalkan tanda yang sama di masing-masing bank yang mereka rampok. Itu yang semakin menguatkan dugaan kalau perampokan ini didalangi oleh satu orang yang sama.”

“Eh, tanda apa Ko? Yang ini aku belum denger deh,” tanya Tika.

“Sebuah bendera kecil berwarna putih dengan simbol berwarna hitam di tengahnya. Simbol itu, simbol keempat arah mata angin.”

“Mata Angin?!” Ara terkejut mendengar itu.

“Iya Ra, Mata Angin. Ara mungkin sudah tahu, karena ayahnya dulu seorang polisi. Tapi mungkin ada dari kalian yang belum tahu. Mata Angin adalah sebuah kelompok kriminal yang menguasai dunia hitam kota ini. Mata Angin juga yang menjadi dalang peristiwa beberapa tahun silam, yang membuat Ara dan Lia hampir menjadi korbannya”

Semua tercekat mendengar penuturan Eko. Sebagian dari mereka memang belum mengetahui tentang Mata Angin itu. Yang tahu hanyalah Ara dan Lia, juga Nadya saat itu menjadi korban penculikan yang berakhir dengan peristiwa yang mengerikan itu. Mereka tak pernah tahu siapa dalang sebenarnya dari peristiwa itu.

“Iya bener, setelah peristiwa itu Mata Angin nggak pernah terdengar lagi. Bahkan beberapa tahun yang lalu ayahku memerintahkan untuk menangkap beberapa orang yang memiliki potensi bakal menghidupkan lagi kelompok itu. Setelah itu kan nggak pernah lagi ada peristiwa kriminal yang heboh di kota ini, sampai kejadian semalam itu,” Ara ikut menambahkan.

“Iya betul Ra. Masalahnya adalah, orang-orang yang ditangkap oleh ayahmu itu sudah dipindahkan ke Nusakambangan beberapa minggu lalu. Beritanya kan ada tuh. Lalu kalau mereka masih ada di penjara, siapa yang menghidupkan lagi kelompok ini?” ujar Eko.

“Haduuuh, kok jadi ngeri gini sih. Jangan-jangan habis ini bakal banyak kejahatan lagi deh di kota ini,” ucap Tika, diamini oleh teman-temannya.

“Kita berdoa aja semoga polisi cepet mengungkap kejadian ini, supaya nggak sampai terjadi lagi.”

“Amiiiin.”

Ara kemudian terdiam merenungi apa yang sedang terjadi belakangan ini. Berawal dari perbuatan Pak Hamid yang akhirnya membuat dia mengetahui bahwa dia sudah lama diikuti, lalu sekarang kemungkinan munculnya lagi kelompok Mata Angin. Mengingat apa yang pernah terjadi kepada dia dan keluarganya dulu, membuatnya berpikir bahwa kedua kejadian ini saling berhubungan satu sama lain. Mungkin nanti sepulangnya dari kantor dia akan membicarakan dengan suaminya, yang penting sekarang adalah dia harus lebih berhati-hati lagi.

Suasana di kantor ini juga dirasa sedikit berubah akhir-akhir ini. Kepergian Nadya yang tiba-tiba menimbulkan tanda tanya di benak mereka. Perubahan pada diri Lia yang cenderung lebih pendiam sekarang. Eko yang mulai terbagi fokusnya antara pekerjaan dan persiapan pernikahannya. Hanya Indah yang masih ceria seperti biasanya, dan sekarang lebih dekat lagi dengan Ara. Sedangkan Pak Hamid, Ara sendiri tak tahu bagaimana kondisinya sekarang.

Sejak Pak Hamid mengalami kecelakaan dan masuk rumah sakit, hanya Ara yang sama sekali belum menjenguknya. Dia masih merasa marah kepada atasanya itu mengingat apa yang telah diperbuat terhadapnya. Dia hanya mendengar dari teman-temannya bahwa keadaan Pak Hamid cukup memprihatinkan dengan kedua tangan dan kaki yang patah tulangnya. Ara hanya menggelengkan kepala saja mendengar itu, ternyata teman suaminya cukup keras juga memberi pelajaran kepada lelaki yang sudah beranjak tua itu.

**
*****

09.00 pm
Rumah Ara

Ara yang baru saja selesai mencuci piring dan membereskan meja makan berjalan ke arah Budi yang sedang menonton berita di TV. Berita yang ditayangkan adalah peristiwa perampokan bank yang baru saja terjadi kemarin. Berita itu kini sudah menyebar luas dan menjadi headline di sejumlah stasiun televisi, media cetak maupun berbagia kanal berita di internet.

Perampokan yang terjadi di empat bank milik negara yang berada di empat kabupaten itu terjadi secara serempak. Menyebabkan kerugian miliaran rupiah dan yang lebih mengenaskan lagi adalah, menyebabkan tewasnya seluruh pegawai di keempat bank tersebut secara mengenaskan. Ada yang ditempak kepalanya, digorok lehernya, juga ditusuk jantungnya. Sedangkan para pegawai wanita tewas dalam keadaan telanjang bulat dan alat vital yang bengkak.

Kepolisian pusat bahkan sampai menurunkan bantuan personel dari satuan khusus untuk membantu mengusut dan menyelesaikan kasus ini. Kasus yang cukup rumit karena para pelaku sama sekali tidak meninggalkan sidik jari di lokasi. Meskipun semua kejadian itu terekam oleh kamera CCTV, namun semua pelaku memakai topeng sehingga sulit dikenali. Satu-satunya petunjuk hanyalah sebuah bendera berlambang arah mata angin. Benar-benar perampokan yang sangat rapi dan terorganisir.

Ara duduk di samping Budi dan langsung memeluk lengan suaminya. Dia merasa bersyukur karena bank tempat Budi bekerja tidak sampai mengalami perampokan yang serupa. Dia tak dapat membayangkan jika Budi mengalami hal itu, bisa jadi malam ini dia sedang menangisi kepergian suaminya.

“Ayah, Bunda takut, kelompok Mata Angin itu kayaknya udah mulai muncul lagi deh,” Ara semakin erat memeluk Budi.

“Iya, kelompok itu udah lama banget hilang, tiba-tiba sekarang muncul lagi dan langsung bikin gempar kayak gini,” Budi mengelus kepala istrinya untuk membuatnya merasa nyaman.

“Tapi ini bener-bener sadis deh Yah, semuanya sampai dibunuh gitu. Bunda khawatir mereka bakal ngelakuin aksi kayak gitu lagi.”

“Bunda nggak usah terlalu khawatir. Kan sekarang polisi lagi berusaha buat menangkap mereka. Kita berdoa aja biar mereka cepet tertangkap.”

“Tapi kok bisa sampai nggak kelacak sama polisi ya Yah pergerakan kelompok itu? Padahal orang-orang yang dicurigai bakal menghidupkan lagi kelompok itu udah ditangkap, dan malah sekarang udah dipindahin ke Nusakambangan.”

“Ayah juga nggak tahu. Mungkin selama bertahun-tahun mereka berdiam diri untuk mempersiapkan diri Bun. Mempersiapkan kemunculan mereka sekarang ini. Kalau dilihat dari perampokan kemarin itu, semuanya sangat rapi, udah pasti mereka dari jauh-jauh hari merencanakan ini dengan matang-matang.”

“Yah, kira-kira, kejadian ini ada hubungannya nggak ya sama kejadian kemarin?”

“Maksud Bunda?”

“Itu Yah, yang video punya Pak Hamid itu. Ayah bilang kan kemungkinan udah lama Bunda diikutin cuma untuk ngebuat video itu. Pasti tujuannya bukan cuma ngejebak Bunda kan? Rasanya terlalu berlebihan mereka ngeluarin biaya yang begitu besar, dan ngelakuin sesuatu yang begitu rumit cuma buat ngerjain Bunda, atau wanita-wanita lain. Bunda kepikiran, kejadian 3 tahun yang lalu bakal terulang lagi Yah.”

“Udah, Bunda nggak usah mikirin sampai sejauh itu. Mungkin aja semua itu cuma kebetulan. Kita tunggu aja hasil dari penyelidikan polisi. Ayah yakin kok perampokan itu semata-mata cuma kemunculan kembali kelompok Mata Angin aja. Kalau dulu pernah berhasil ditumpas, pasti sekarang juga bisa.”

“Tapi Yah, mereka dulu bisa ditumpas kan karena kejadian itu. Mereka pas ngumpul di satu tempat, lagian yang numpas bukan polisi, tapi Bang Rio dan teman-temannya, jadi gampang kan. Lha kalau sekarang, mereka terpencar gitu, pasti lebih sulit.”

“Ya memang bakal lebih sulit Bun kalau terpencar, tapi kan Bunda lihat sendiri tuh beritanya, dari pusat udah ada bantuan pasukan khusus. Polisi pasti udah punya rencana buat ngantisipasi itu Bun. Bunda tenang aja ya, jangan kejauhan mikirnya. Kita nggak bakal kenapa-kenapa kok, percaya kan sama Ayah?” Ara pun mengangguk karena percaya Budi akan melindungi dirinya serta keluarganya.

Budi terus berusaha menenangkan Ara, meskipun sebenarnya dirinya sendiripun kini mulai was-was. Apa yang dikatakan oleh Ara tadi memang sama dengan yang dia pikirkan, namun karena tidak ingin membuat istrinya khawatir dia mencoba meyakinkan bahwa perampokan ini tidak ada hubungannya dengan video yang dimiliki oleh Pak Hamid.

Budi sangat yakin bahwa kedua kejadian itu saling berhubungan. Keduanya memiliki benang merah yang berpangkal pada satu sumber, yaitu dalang dibalik semua kejadian ini. Tadi sore sebelum pulang dari kantor dia sempat mencoba mencari tahu dengan cara meretas ponsel milik Pak Hamid untuk melihat dengan siapa saja komunikasi yang dilakukannya. Tapi entah kenapa sangat sulit untuk bisa memasuki sistem ponsel itu, seperti ada sesuatu yang melindunginya. Sayangnya dia tidak punya cukup waktu untuk mengotak atiknya lebih jauh karena Ara sudah menunggunya di rumah, dia tak mau membuat istrinya itu lebih khawatir lagi.

Kesulitan yang dia alami saat meretas ponsel milik Pak Hamid membuat Budi semakin yakin bahwa pria itu melakukan kontak dengan orang yang bisa menghubungkannya pada dalang utama dari semua peristiwa ini. Besok dia bertekad untuk mencari tahunya, tapi dia juga tahu kalau harus lebih waspada.

Pengalaman Budi sebagai seorang hacker memberinya intuisi bahwa dengan adanya pelindung pada sistem di ponsel Pak Hamid, bisa jadi dibarengi dengan adanya alat atau aplikasi pendeteksi balik untuk mengetahui siapa saja yang hendak meretasnya. Jika memang benar seperti itu, berarti dia juga sedang menghadapi orang dengan kemampuan yang tidak bisa dianggap enteng.

Budi pun sudah menghubungi salah seorang “temannya” lagi untuk membantunya dalam masalah ini. Karena dia akan lebih fokus untuk menelusuri siapa dalang utamanya, dia harus memiliki back up orang yang bisa dipercaya untuk melindunginya jika saja nanti dirinya dalam keadaan lengah. Sementara itu “teman” yang sebelumnya sudah membereskan Pak Hamid tetap akan dia minta untuk fokus melindungi keluarganya.

*****

Sudah sebulan sejak peristiwa perampokan sadis yang menelan banyak korban jiwa itu, namun sepertinya harapan dan doa semua orang agar para pelaku segera tertangkap belum bisa terwujud. Bahkan sampai sekarang, tingkat kejahatan di kota ini melonjak drastis. Pihak berwajib yang masih dipusingkan dengan peristiwa perampokan itu seolah memberi angin kepada para penjahat yang sudah lama tiarap untuk kembali memulai aksinya.

Adanya bantuan pasukan khusus yang diterjunkan ke kota ini juga belum banyak membantu. Para pelaku itu seperti mempermainkan pihak yang berwajib. Mereka seperti sudah tahu apa saja yang akan dilakukan oleh para aparat sehingga sampai sekarang bahkan jejaknya saja sulit untuk ditemukan.

Lebih daripada itu, para penjahat itu seperti ingin mengejek aparat dengan terus melakukan aksi mereka secara acak, baik tempat dan waktunya, yang sama sekali tidak bisa diprediksi. Setiap melakukan aksinya para penjahat itu selalu menjalankannya dengan sangat rapi, hampir tanpa jejak kecuali sebuah bendera dengan simbol kelompok Mata Angin.

Aksi kejahatan baik yang berskala besar maupun kecil, mulai dari perampokan, penjambretan, begal, pemerkosaan hingga pembunuhan semakin sering terdengar terjadi di kota ini. Kehidupan masyarakat yang tadinya tenteram dan damai mulai terusik. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap yang berwajib yang tadinya sangat tinggi perlahan mulai luntur, terlebih lagi saat terjadi perampokan sadis yang menewaskan karyawan minimarket yang letaknya persis bersebalahan dengan kantor polisi.

Masyarakat yang awalnya berinisiatif untuk melakukan ronda malam kini juga mulai takut, karena beberapa hari yang lalu beberapa peronda yang melakukan patroli dan memergoki aksi perampokan justru harus dirawat di rumah sakit dengan tubuh yang penuh dengan luka-luka sayat. Para penjahat itu seolah tak lagi takut dengan petugas keamanan. Setiap melakukan aksinya mereka selalu membekali diri dengan berbagai macam senjata.

Setiap harinya selalu saja kantor polisi menerima telpon yang isinya laporan aduan dari masyarakat bahwa telah terjadi tindak kejahatan di daerah sekitar mereka. Kolom berita baik itu media cetak maupun elektronik mulai dipenuhi dengan berita kejahatan yang terjadi di kota ini. Bahkan dalam beberapa hari terakhir, berbagai media itu turut menyindir kinerja dari pihak yang berwajib karena sampai sekarang belum ada satupun pelaku yang tertangkap sejak peristiwa perampokan yang pertama dulu.

Mendapati hal itu tentu saja para personel kepolisian semakin kelimpungan. Belum selesai satu kasus langsung muncul lagi kasus yang lain. Hal ini sebenarnya tak lepas dari selama ini mereka sudah terlena dengan kondisi yang aman tanpa gangguan sama sekali. Mereka tidak siap menghadapi aksi kejahatan yang datangnya bersamaan dan tak segan-segan melukai korbannya seperti saat sekarang ini.

Mengingat kondisi yang sudah sedemikian tidak kondusif ini membuat para polisi ini harus bekerja melebihi jam kerja yang seharusnya. Kekejaman dan kesadisan para penjahat akhir-akhir ini sebenarnya juga sedikit banyak membuat mereka gentar. Dalam menjalankan tugasnya, para aparat juga sudah tidak terlalu fokus. Selain mencemaskan keselamatannya sendiri, mereka juga mengkhawatirkan kondisi keluarganya yang ditinggal di rumah.

Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan. Baru-baru ini terdengar kabar di kalangan dalam bahwa ada empat orang petugas yang menghilang. Bukan hanya mereka saja tapi juga keluarganya. Bahkan ada kabar yang menyebutkan bahwa, keempat anak gadis dari petugas yang hilang itu telah menjadi korban pemerkosaan. Namun sampai saat ini baik itu dari pihak kepolisian maupun kampus tempat gadis-gadis itu kuliah masih menutupinya. Mereka tak ingin semakin terintimidasi jika berita ini sampai terdengar ke masyarakat. Meskipun belum ada yang bisa membuktikan kebenarannya, tapi kabar burung inilah yang membuat para aparat, terutama yang memiliki anak gadis menjadi semakin was-was.

Suasana malam yang biasanya selalu ramai di setiap sudut kota sebelum terjadinya peristiwa perampokan itu, kini menjadi jauh lebih sepi. Masyarakat lebih memilih berdiam di rumah mereka masing-masing ketimbang harus bepergian. Kalaupun terpaksa harus mengadakan kegiatan, mereka selalu meminta pengamanan dari pihak yang berwajib. Namun jika sudah seperti itu, biasanya akan terjadi tidak kejahatan lagi di tempat lain.

Meskipun sudah mencoba untuk mengatisipasinya, namun tetap saja mereka selalu kecolongan. Para pelaku kejahatan ini benar-benar seperti mengerti dimana ada celah kosong yang tidak terpantau yang bisa mereka manfaatkan. Hal ini pada akhirnya memunculkan kecurigaan dari beberapa pihak bahwa ada oknum aparat yang menyimpang dan bekerja sama dengan para penjahat itu.

Mencoba mencari kebenaran akan hal itu, kepala kepolisian daerah secara khusus menugaskan AKBP Arjuna untuk menyelidikinya. Arjuna pun bergerak cepat dengan memanggil orang-orang kepercayaannya guna melakukan investigasi kemungkinan adanya anggota mereka yang bekerja sama dan membocorkan semua rencana dan tidakan pengamanan yang dilakukan oleh kepolisian.

Namun sampai saat ini belum ada hasil sesuai dengan yang diharapkan. Berkali-kali Arjuna dipanggil oleh pimpinannya untuk dimintai laporan, namun berkali-kali juga Arjuna harus minta maaf karena belum bisa memberikan laporan yang memuaskan. Arjuna terlihat semakin stress dengan kondisi ini, dimana dia harus menyelidiki puluhan kasus yang terjadi di luar sana, juga harus menyelidiki anak buahnya sendiri.

Sampai pada akhirnya hari ini wajah kepolisian benar-benar mendapatkan tamparan keras dari para penjahat itu. Sebuah perampokan kembali terjadi di bank terbesar di kota ini yang terletak di pusat kota, pada siang bolong. Kali ini para penjahat merusak kamera CCTV yang langsung terhubung dengan markas kepolisian kota yang letaknya tak jauh dari bank itu. seorang karyawan bank pun sempat membunyikan alarm yang juga terhubung langsung ke markas kepolisian.

Mendapati hal tersebut pihak kepolisian daerah langsung menerjunkan satuan khusus untuk membantu penanganan kejadian ini. Mengingat beberapa kasus yang terjadi sebelumnya, petugas yang diberangkatkan telah dilengkapi dengan rompi anti peluru dan juga senjata lengkap. Setelah mendapatkan pengarahan singkat merekapun segera menuju ke lokasi bank yang mengalami perampokan itu.

Pasukan itu dipimpin langsung Arjuna. Dia sendiri yang menawarkan diri kepada pimpinannya. Sepertinya dia berinisiatif untuk memperbaiki citranya yang sedikit tercoreng akibat kegagalannya dalam menyelidiki anak buahnya sendiri. Arjuna melihat ini adalah kesempatan untuk mengembalikan nama baiknya, serta jika berhasil untuk memberi peringatan kepada para penjahat itu bahwa mereka tak lagi bisa berbuat semaunya.

Tak sampai setengah jam pasukan yang dipimpin oleh Arjuna sampai. Kondisi di lokasi sudah sangat ramai olah para aparat, wartawan serta warga yang ingin menonton dan mengabadikan kejadian itu. Namun para wartawan dan warga ini berinisiatif untuk mengambil jarak yang aman dari bank tersebut mengingat kejadian-kejadian yang lalu dimana para penjahat tak segan untuk melukai siapapun.

Melihat kondisi di lokasi, Arjuna berkoordinasi dengan pimpinan regu dari kepolisian kota yang sudah terlebih dahulu datang. Akhirnya mereka membuat strategi untuk bisa menyusup dan melumpuhkan para penjahat itu. Mereka harus melakukannya dengan sangat hati-hati karena di dalam bank masih ada puluhan orang baik itu karyawan bank maupun para nasabah. Mereka tidak ingin sampai jatuh banyak korban seperti yang sudah-sudah.

Sementara itu di dalam bank ada 10 orang berpakaian serba hitam yang menutupi sekujur tubuhnya kecuali mata dan hidung. Mereka telah membagi tugas, dimana ada yang mengawasi para sandera, ada yang memantau situasi dan ada yang menguras isi brankas bank tersebut. Mereka sedapat mungkin menghidari kaca yang dapat digunakan untuk membidik kalau saja ada penembak jarak jauh. Kesepuluh orang itu nampak membawa senjata api yang tak kalah dengan yang dibawa oleh polisi yang mengepungnya.

Seluruh sandera saat ini dikumpulkan di satu tempat. Mereka diperintahkan untuk tiarap dengan kedua tangan diletakkan di kepala. Meskipun banyak wanita diantara sandera namun para perampok ini sepertinya tidak tertarik untuk menyentuhnya. Nampaknya tujuan mereka kali ini hanyalah untuk menguras sebanyak mungkin uang yang ada di bank ini. Mereka bergerak dengan sangat cepat sehingga dalam waktu singkat uang-uang itu telah terkumpul di beberapa tas yang sudah dipersiapkan.

Setelah perampok yang bertugas mengambil uang kembali ke tempat dimana para sandera dikumpulkan mereka pun terlihat berdiskusi sejenak. Mereka hanya berbisik-bisik sehingga tak satupun dari para sandera mendengarkan apa yang sedang didiskusikan. Lagipula saat ini para sandera sibuk berdoa sendiri-sendiri. Berharap mereka tidak bernasib sama seperti para korban di perampokan yang sebelumnya.

Setelah itu, salah satu perampok membuka tas yang sedari tadi dibawanya dan mengeluarkan beberapa barang dari dalamnya, kemudian memberikan satu persatu kepada teman-temannya yang lain. Setelah mendapatkan barang itu, tiba-tiba saja para perampok menyebar dan dalam hitungan detik melemparkan benda itu ke segala arah.

“Apapun yang terjadi, saya minta kalian semua tetap diam, atau nyawa kalian melayang!”

Tepat saat salah satu perampok tadi memberikan perintah kepada para sandera, tiba-tiba saja dari benda yang mereka lemparkan tadi keluar asap yang semakin lama semakin banyak memenuhi ruangan itu. Asap yang semakin pekat membuat para sandera terbatuk-batuk dan merasakan matanya begitu pedas, beberapa saat kemudian mereka semuanya sudah tak sadarkan diri.

Dari luar, semua yang sedang berada disana tiba-tiba juga melihat adanya asap yang mengepul di dalam bank tersebut. Mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di dalam. Para polisipun kebingungan dengan hal itu, namun mereka masih belum berani untuk bergerak mendekat. Arjunapun belum memberikan instruksi karena belum yakin dengan situasi yang terjadi sekarang.

Asap yang semakin pekat itu sebagian keluar menembus celah-celah yang ada di pintu dan jendela yang sepertinya sengaja dibiarkan sedikit terbuka. Semua yang menyaksikan itu dari luar masih terdiam di tempat masing-masing. Para polisi masih stand by di posisinya masing-masing. Para petugas medis sudah bersiap di ambulan dan peralatan masing-masing. Para wartawan masih memegangi kameranya, menyorot ke arah bank. Begitu pula dengan para warga yang mengabadikan kejadian ini dengan ponsel mereka masing-masing.

Setelah hampir 10 menit, tidak ada pergerakan sama sekali, dan asap di dalam bank itu perlahan-lahan mulai hilang. Arjuna yang merasa ada yang tidak beres dengan itu semua segera memerintahkan semua anak buahnya untuk memakai masker dan bersiap melakukan penyergapan. Para aparat inipun bersiap, meskipun masih ada rasa gentar di dalam diri mereka, karena kemungkinan terburuknya adalah mereka harus melakukan baku tembak dengan para perampok itu.

Setelah memastikan semua anak buahnya siap, Arjuna pun memerintahkan mereka untuk bergerak. Secara serempak, semua polisi yang sudah sedari tadi mengepung dari segala arah ini pun bergerak mendekat dengan sangat hati-hati. Saat sudah merapat ke dinding bank, mereka pun membagi tugas, ada yang berjaga di sekitar jendela untuk mengantisipasi adanya perampok yang nekat menerobos lewat jendela, ada yang bertugas mendobrak pintu dan memberikan serangan awal.

Setelah berada di posnya masing-masing, mereka yang bertugas mendobrak pintupun perlahan mendekat. Dua orang memegang handle pintu, kemudian beberapa orang bersiap dengan senjata yang telah terbuka kuncinya. Dengan memberikan isyarat, begitu pintu terbuka langsung saja menerjang masuk.

“Polisi…” “Polisi…” “Jangan bergerak…” “Tetap di tempat…” “Menyerahlah…”

Ruangan yang tadinya sunyi itu langsung riuh dengan teriakan para polisi yang merangsek masuk. Namun yang mereka dapati hanyalah tubuh para sandera yang tergolek pingsan. Meskipun begitu para polisi ini tetap waspada berjaga-jaga kalau para perampok ini bersembunyi dan bersiap untuk menembaki mereka.

Salah seorang diantara polisi itu memberikan isyarat kepada rekan-rekannya untuk menyebar dan mencari keberadaan para perampok itu. Semakin lama semakin bertambah polisi yang masuk untuk membantu rekan-rekannya. Namun yang terjadi adalah, setelah seluruh tempat di bank ini digeledah, tak ditemukan satupun perampok yang bersembunyi. Mereka seolah-olah raib, hilang begitu saja, dengan membawa semua uang hasil rampokan mereka.

Hanya ada satu benda yang tertinggal di salah satu meja di bank ini. Benda yang sudah sedemikian akrab dengan polisi dalam sebulan terakhir ini. Sebuah bendera dari kain berwarna putih dengan logo kelompok Mata Angin di tengah-tengahnya. Bedanya, kali ini bendera itu berukuran lebih besar daripada yang sebelum-sebelumnya.

Para polisi itu saling bertatapan tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Salah seorang diantaranya menghubungi Arjuna memintanya untuk masuk ke dalam bank. Arjuna beserta beberapa pejabat tinggi kepolisian kota segera menuju ke dalam bank dengan pengawalan ketat dari anak buahnya. Sesampainya di dalam, sama seperti halnya para anak buahnya, dia hanya melongo, menatap tak percaya dengan apa yang terjadi di dalam bank ini.

Kembali dia memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa setiap sudut ruangan di bank ini, memeriksa setiap dinding, lantai atau apapun yang kemungkinan dipakai untuk jalan rahasia, namun sekali lagi hasilnya nihil. Tidak ada satupun perampok yang berhasil ditemukan. Tidak sepeserpun uang hasil rampokan yang tertinggal disitu. Kondisi ini benar-benar membuat mereka semua bingung.

Di tengah kebingungan itu mereka dikagetkan oleh mulai sadarnya para sandera. Sandera yang mulai sadar itu awalnya ketakutan saat samar-samar melihat banyak sosok berpakaian tertutup dan membawa senjata api. Namun saat mereka sudah sadar sepenuhnya dan pandangan mereka sudah jelas, merekapun berucap syukur karena yang dilihatnya adalah para polisi. Lebih bersyukur lagi karena saat ini mereka selamat, tidak seperti korban pada perampokan sebelumnya.

Tak mau lengah dan kecolongan, Arjuna pun memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa identitas semua sandera itu, juga memeriksa semua barang yang mereka bawa. Setelah memastikan kebenaran identitas dan tidak adanya hal-hal yang mencurigakan, barulah dia memanggil petugas medis untuk masuk dan memberikan tidakan seperlunya pada para sandera.

Setelah semua sandera dikeluarkan dari dalam bank, kini para polisi satu persatu keluar dari bank itu. Namun kini mereka dihadapkan pada permasalahan lain. Para wartawan yang sudah bersiap tadi rupanya juga ikut mendekat dan merekam semua kejadian yang terjadi di dalam. Mereka tahu kalau para polisi itu tidak menemukan satupun tersangka. Terlebih seluruh uang yang berada di dalam bank ini telah habis dikuras oleh para perampik itu.

Arjuna, yang merupakan pimpinan operasi ini langsung dikerubuti oleh para wartawan yang meminta penjelasan. Namun dia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa, dia hanya menggeram sambil meremas-remas bendera kelompok Mata Angin yang diambilnya itu. Semua ini berada di luar logikanya. Seberapapun para wartawan ini mendesak, Arjuna tetap tak bisa berkomentar apapun, begitu juga para polisi yang lain. Mereka seperti linglung, benar-benar bingung dengan apa yang terjadi.

Bagaimana sekumpulan perampok yang membawa puluhan tas berisi uang itu bisa menghilang begitu saja? Padahal gedung ini telah benar-benar dikepung dari segala arah. Selain itu regu penembak jitu sudah disiapkan juga dari berbagai arah. Selain para polisi, ada juga wartawan dan warga masyarakat yang berkeliling di sekitar bank itu. Tapi bagaimana para perampok itu bisa mengilang tanpa bekas?

Apakah mungkin perampokan di siang bolong ini dilakukan oleh hantu? Ataukah ada teori lain yang bisa menjelaskanya? Semua orang tanpa terkecuali bertanya-tanya. Tidak hanya mereka yang ada di tempat ini, tapi juga mereka yang menyaksikan di televisi karena kejadian ini ditayangkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi. Semua tercengang melihatnya, mencoba menelusuri dengan nalar mereka masing-masing bagaimana hal itu bisa terjadi.

Yang mereka tahu hanyalah perampokan ini didalangi oleh kelompok Mata Angin. Tapi siapa sebenarnya kelompok Mata Angin itu? Kenapa sampai bisa melakukan hal di luar nalar seperti ini? Benarkah mereka hantu? Di siang bolong? Tak ada yang bisa menjawabnya. Namun mereka semua sepakat untuk menamai peristiwa ini sebagai, The Phantom Robbery.

*****

08.00 pm
Rumah Ara

Sepasang suami istri itu nampak terpaku menonton berita di televisi. Berita yang ditanyangkan tak lain adalah peristiwa perampokan yang baru saja terjadi tadi siang. Persamaannya dengan perampokan yang terjadi sebelum-sebelumnya adalah, semua uang yang berada di bank itu ludes, dan para perampok meninggalkan jejak berupa bendera kelompok Mata Angin.

Namun yang berbeda dari perampokan sebelumnya, kali ini sama sekali tidak ada korban jiwa. Semua sandera selamat. Dan satu hal lagi, entah bagaimana caranya berhasil lolos dari sergapan polisi yang telah mengepungnya dari segala penjuru.

Semua stasiun TV ramai-ramai membicarakan hal itu. Para narasumber yang didatangkan mencoba menganalisa bagaimana caranya mereka meloloskan diri. Berbagai opini pun muncul di masyarakat. Yang paling rasional adalah bahwa para perampok itu menggunakan jalan rahasia untuk keluar dari bank itu, meskipun setelah diperiksa dengan teliti tidak ada sama sekali yang bisa membuktika kebenaran hal itu. Sebagian lagi punya pendapat bahwa para perampok itu mempunyai semacam “ilmu” sehingga bisa menghilang dari padangan semua orang.

Ara dan Budi pun, mungkin sama seperti halnya para masyarakat yang lain, ikut mencoba menebak apa yang kira-kira terjadi, meskipun sampai sekarang mereka belum menemukan jawabannya sama sekali. Sudah sedari tadi siang baik Ara maupun Budi mengikuti perkembangan berita ini karena proses penyergapan itu ditanyangkan langsung.

“Kok bisa bener-bener ilang gitu ya Yah?”

“Iya Bun, bener-bener aneh ini. Nggak ada korban jiwa sama sekali, tapi kok para pelakunya bisa ilang tanpa bekas gitu.”

“Masak iya sih mereka itu hantu? Kayaknya kok nggak mungkin ya?”

“Nggak lah, nggak mungkin. Pasti ada penjelasan logis dengan semua ini Bun. Entah seperti apa, tapi Ayah yakin akan hal itu.”

“Bunda juga mikirnya gitu sih. Mana tadi mereka ninggalin benderanya yang ukuran gede lagi Yah. Bener-bener sebuah tamparan keras buat kepolisian.”

“Iya, mereka bener-bener berhasil mempermalukan polisi hari ini. Apalagi ini semua disiarin langsung. Bendera yang gede itu bisa jadi sebuah ejekan, tantangan, atau bahkan peringatan.”

“Peringatan gimana maksudnya Yah?”

“Peringatan dari kelomok Mata Angin, kalau kepolisian itu nggak ada apa-apanya dibandingkan mereka.”

“Hmm, gila ya. Ini pasti pukulan yang berat banget buat kepolisian, apalagi mereka yang hari ini bertugas. Mentalnya pasti lagi down banget sekarang ini.”

“Iya bener. Dan kalau kondisi mental mereka nggak segera diperbaiki, para penjahat itu pasti akan semakin gencar ngelakuin aksinya. Mungkin ini memang tujuan utama mereka ngelakuin perampokan ini Bun. Mereka nggak nyerang secara fisik, tapi psikis, dan itu dampaknya akan terasa lebih besar.”

Ara membenarkan apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Serangan fisik itu bisa jelas terlihat sehingga bisa diantasipasi, kalaupun sudah terkena, bisa cepat disembuhkan. Tapi serangan ke arah mental, sulit untuk diketahui, dan bila sudah terkena, maka akan sangat sulit untuk disembuhkan, tergantung pada kondisi kejiwaan masing-masing orang, dan seberapa besar tingkat serangan itu.

Serangan mental kepada pihak yang berwajin hari ini tentunya benar-benar akan sangat berpengaruh kepada para anggota yang bertugas siang tadi. Apalagi semua kejadian itu diliput dan disiarkan secara langsung. Bukan hanya orang-orang di sekitar tempat kejadian yang dapat melihatnya, namun semua orang bisa. Dipermalukan di depan jutaan pasang mata, tak terbayangkan dampak yang mereka rasakan sekarang.

Ara juga sangat sepakat dengan pemikiran suaminya bahwa kejadian hari ini mempunyai tujuan yang lebih jauh lagi. Dengan jatuhnya mental para aparat keamanan akan kejadian ini, maka para penjahat itu akan merasa lebih bebas untuk melakukan aksinya lagi. Bisa saja para aparat itu ketika mendapatkan laporan terjadi tidak kejahatan akan berpikir seperti ini, ‘Ah ngapain juga kesana, paling-paling sesampainya disana mereka udah ilang lagi. Daripada semakin malu mending nggak usah berangkat sekalian.’

Ara tak bisa membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Jika aparat keamanan saja sudah berpikir seperti itu, lalu bagaimana nasib kota ini nantinya? Kejahatan pasti akan semakin merajalela dan mengerikan, tanpa ada satupun yang bisa menghentikannya. Baru membayangkannya saja sudah sebegitu menakutkan, apalagi bila benar-benar terjadi.

“Oh iya Yah, ada yang pengen Bunda tanyain sama Ayah,” Ara tiba-tiba teringat sesuatu yang ingin dia bicarakan dengan suaminya.

“Tanya apaan Bun?” tanya Budi sambil memandang istrinya.

“Seminggu ini si Eko ada ngehubungi Ayah nggak?”

“Eko? Nggak ada kayaknya Bun, udah lebih dari semingguan kayaknya, emang kenapa?” tanya Budi sambil dirinya memeriksa ponselnya, mencari-cari kapan terakhir kali Eko menghubunginya.

“Kok aneh ya.”

“Aneh gimana Bun? Emang ada apaan sih?”

“Eko udah seminggu ini nggak masuk kerja Yah, tanpa ijin. Awalnya kita semua ngira dia lagi nyiapin nikahannya yang tinggal 2 minggu lagi. Tapi pas coba dihubungi, nggak bisa nyambung. Kemarin Riko sama Pak Sultan coba nyari ke rumahnya dia, tapi rumahnya kosong. Eko sama orang tuanya nggak ada. Udah gitu, calon istrinya sama keluarganya juga ikutan menghilang Yah. Ditanyain ke tetangga-tetangganya nggak ada yang tahu mereka kemana.”

“Hilang? Termasuk calon istri dan keluarganya?” Budi terkejut mendengarkan penuturan Ara.

“Iya Yah, hilang. Bunda takutnya terjadi apa-apa sama mereka.”

Budi hanya terdiam tak memberikan respon. Otaknya sedang memikirkan berbagai kemungkinan. Bulan lalu Ara juga menceritakan bahwa tiba-tiba Nadya berhenti bekerja dan pindah entah kemana, nomornya maupun nomor keluarganya tidak ada yang bisa dihubungi. Tapi Budi tak terlalu mempermasalahkan hal itu.

Tapi kali in yang menghilang adalah Eko. Budi yang mengetahui siapa Eko yang sebenarnya langsung memiliki firasat buruk akan hal ini. Eko dengan kemampuan yang dimilikinya, jika berada di pihak yang salah dan tidak bertanggung jawab, maka akan menjadi masalah yang sangat besar. Dia harus secepatnya mencari keberadaan Eko, meskipun itu sangat sulit karena sudah seminggu menghilang. Tapi dia harus benar-benar mengusahakannya. Dia tidak ingin apa yang menjadi firasatnya benar-benar terjadi. Karena bila itu benar terjadi, maka tidak bisa dihindarkan lagi terjadinya perang antara guru melawan muridnya sendiri, Venom vs E-coli.

***
Bersambung

Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂