Mengalahkan Gadis Bagian 2 Part 17

Mengalahkan Gadis Bagian 2 Part 17
Shocking Fact, Part 2
“Selamat datang AKBP Arjuna. Dan selamat datang kembali, Ayah.”
Hampir semua orang termasuk Arjuna terkejut melihat Bastian menghampiri Fuadi dan memanggilnya Ayah. Steve dan David memilih diam, sedangkan Dokter Lee nampak menyunggingkan senyumnya.
“Apa lu bilang barusan Bas? Ayah?” mendapat pertanyaan dari Rio membuat Bastian dan Fuadi saling berpandangan, lalu keduanya tersenyum dan menoleh ke arah Rio bersamaaan.
“Inilah alesan kenapa gue kumpulin kalian semua disini. Banyak hal yang bakal gue dan ayah gue sampein sama kalian.”
“Tapi boss, hmm, bukannya harusnya AKBP Arjuna udah tewas waktu kejadian kemarin?” Tono mengalihkan pembicaraannya karena melihat sosok Arjuna yang terlihat segar bugar.
“Hahaha, emang kenapa Ton? Sepertinya kamu pengen banget aku mati? Kamu pikir kita ini beda kubu? Kamu pikir siapa yang ngebebasin Mata Angin kalau bukan aku?” Arjuna tergelak karena Tono masih terlihat sangat terkejut dengan kehadirannya, namun berusaha untuk segera menguasai keadaan.
“Udah udah, kita makan dulu aja, nanti setelah itu, gue bakal ceritain semuanya biar kalian nggak bingung.”
Bastian memotong pembicaraan dan mengajak mereka semua untuk makan siang, dia sendiri sudah merasa sangat lapar karena terlalu lama menunggu kedatangan Arjuna dan Fuadi. Meskipun Rio dan Tono masih menyimpan banyak sekali tanda tanya, namun mereka memilih untuk mengikuti perintah bossnya terlebih dahulu. Mereka yakin nantinya akan mendapatkan jawaban dari semua ini. Tentang kemunculan Fuadi dan Arjuna yang seharusnya sudah meninggal, dan semua rencana yang sepertinya masih disembunyikan oleh Bastian.
*****
Sepanjang perjalanan dari rumah menuju ke tempat Marto, Wijaya dan Fadli hanya terdiam saja. Terutama Wijaya yang menyimpan begitu banyak pertanyaan di benaknya. Kehadiran Fadli yang mendadak dalam kondisi seperti ini benar-benar tak pernah dia sangka. Entah ada kejadian apa yang dia alami, tapi nampaknya itu adalah sesuatu yang buruk.
Terlihat oleh Wijaya sorot mata Fadli yang dulu begitu tenang dan hangat, kini berubah, entah antara pilu karena putus asa, atau amarah karena dendam, Wijaya belum bisa memastikannya. Tapi yang jelas, orang yang dulu menjadi salah satu kepercayaannya, anak buah kesayangannya itu, kini telah berubah.
Tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di tempat kerja Marto. Kebetulan sekali hari ini arena bermain itu sedang sepi, hanya terlihat beberapa sepeda motor dan 2 buah mobil yang terparkir disana. Salah satu mobil adalah milik Marto, sedangkan mobil yang lainya dikenali Wijaya sebagai mobil milik Budi, ternyata menantunya sedang berada disini, entah untuk bermain atau ada keperluan lain.
Setelah memarkirkan mobil, mereka berdua segera turun dan memasuki kantor arena permainan itu. Seorang pegawai menyambut mereka karena memang sudah sangat mengenal sosok Wijaya.
“Selamat siang Pak Wijaya, wah sudah lama sekali ini nggak main kesini.”
“Siang juga Mas. Ya maklumlah orang tua ini mana bisa sering-sering main ke tempat seperti ini, haha.”
“Ah Pak Wijaya bisa aja. Meski sudah berumur tapi masih kelihatan segar bugar gitu kok Pak. Jadi, bapak mau bermain? Kebetulan hari ini sedang longgar jadwalnya.”
“Oh nggak Mas. Saya pengen ketemu sama Marto, ada?”
“Ada Pak, tapi sedang ada tamu di ruangannya. Sebentar saya sampaikan dulu, Bapak dan temannya silahkan menunggu di kursi itu Pak,” ucap si pegawai dengan sopan mengarahkan Wijaya dan Fadli ke kursi di ruang tunggu.
Tak lama setelah itu si pegawai menuju ke ruangan Marto yang pintunya tertutup rapat. Awalnya dia ragu karena tadi Marto sudah berpesan untuk tidak mengganggunya, namun karena yang datang adalah Wijaya mau tak mau dia beranikan diri untuk mengetuk pintu ruangan itu.
“Masuk!” terdengar suara Marto dari dalam setelah mendengar suara ketukan.
“Permisi Mas Marto, maaf mengganggu.”
“Eh kamu Sis, ada apa?”
“Ada Pak Wijaya sama temannya Mas, katanya mau ketemu sama Mas Marto.”
“Lha kenapa nggak langsung kamu ajak masuk kesini aja?”
“Yaa kan Mas Marto lagi ada tamu, dan tadi bilangnya nggak mau diganggu.”
“Oalah Sis Wasis, lha tamuku ini kan menantunya Pak Wijaya, piye tho kamu ini? Udah kamu ajak mereka masuk kesini.”
“Hehe saya nggak tahu Mas. Yaudah kalau gitu saya panggilkan dulu.”
Wasis pun segera beranjak menuju ke tempat Wijaya dan Fadli menunggu, lalu mengajak mereka untuk menuju ke ruangan Marto. Setelah keduanya masuk dan bersalaman dengan Marto dan Budi, Wasis meminta diri untuk kembali kedepan, setelah sebelumnya kembali dipesankan oleh Marto agar benar-benar tidak mengganggunya kali ini.
“Pak Wijaya, tumben-tumbenan ini kesini, ada angin apa ya? Dan Bapak ini, hmm, maaf siapa ya?” Marto membuka pembicaraan setelah mempersilahkan mereka semua duduk.
“Kamu nggak mengenali dia To?” Marto hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Kalau kamu Bud, kamu juga nggak ngenalin dia?” ganti Wijaya menanyakannya kepada Budi.
“Hmm, wajahnya seperti familiar, tapi saya belum yakin. Apakah ini, Mas Fadli?”
“Haha, kamu benar Bud, ingatanmu tajam juga rupanya,” jawab Wijaya memuji menantunya itu.
“Hah, Fadli? Yang bener? Kok beda ya, jadi agak, hmm…” Marto ragu untuk meneruskan kata-katanya, takut menyinggung perasaan Fadli.
“Lusuh? Ya memang gini sekarang penampilan saya Mas, hehe,” Fadli memotong seolah-olah tahu apa yang dimaksud oleh Marto.
“Iya. Tapi maaf Fad, kok kamu bisa kayak gini?”
“Itulah tujuan saya datang kesini. Ada yang mau saya ceritain ke Mas Marto dan Pak Wijaya, tapi…” Fadli tak meneruskan perkataannya dan dia menatap ke arah Budi, nampak ragu apakah harus menceritakan ini dengan kondisi Budi ada disitu.
“Kamu nggak usah khawatir Fad. Budi ini menantu saya, dia bisa dipercaya. Dan mengenai apa yang mau kamu bicarain itu, mungkin Budi juga perlu tahu, karena sebenarnya dia juga mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan mereka,” ujar Wijaya melihat keragu-raguan dari Fadli.
“Memangnya apa yang mau dibicarain sih Yah?” tanya Budi agak kebingungan dengan kata-kata mertuanya.
“Ayah juga belum tahu, tapi kata Fadli ini ada hubungannya dengan Baktiawan, Arjuna dan Rio.”
Serta merta Budi dan Marto menatap Fadli. Mereka seperti memintanya untuk segera bercerita, karena kebetulan sekali sebelum Wijaya dan Fadli datang, mereka sedang membicarakan tentang Rio. Siapa tahu cerita dari Fadli itu bisa menggenapi kepingan puzzle yang sedang mereka susun sedari tadi.
“Baiklah kalau begitu, saya akan menceritakannya jika memang kalian semua yang ada disini benar-benar bisa saya percayai. Karena saya nggak akan cuma bercerita, tapi saya juga ingin meminta tolong kalian, entah bagaimanapun caranya, untuk menghentikan semua ini.”
Perkataan Fadli membuat ketiganya terdiam. Benar-benar sesuatu yang sangat penting rupanya yang ingin diceritakan oleh Fadli.
“Semua ini berawal dari peristiwa yang kita semua alami beberapa tahun yang lalu, peristiwa malam tahun baru berdarah, dimana malam itu saya yang ditugaskan oleh Arjuna untuk memimpin pasukan melakukan penggerebekan. Dan yah, seperti kita tahu semua, saat kami datang semuanya sudah selesai, mereka sudah tewas semua, dan yang melakukan itu adalah Rio dan Mas Marto bukan?”
Mereka bertiga mengangguk, karena memang setelah kejadian itu Wijaya memberi tahu Fadli tentang apa yang terjadi sebenarnya, dan sejak saat itu Fadli pun tak pernah lagi menceritakan hal tersebut kepada orang lain. Demi kebaikan kepolisian juga, pikirnya saat itu.
“Tapi dari kejadian itu, ada satu hal yang belum saya sampaikan kepada Pak Wijaya.”
“Soal apa itu Fad?”
“Soal beberapa barang yang saya sita dari Fuadi dan Baktiawan, sebagai barang bukti.”
“Lalu, ada apa dengan barang-barang itu?”
“Ada satu hal yang saya temukan baik itu di ponsel milik Fuadi maupun Baktiawan, yaitu kontaknya Arjuna.”
“Kontaknya Arjuna? Kok bisa ada di Baktiawan?” Wijaya terkejut mengetahui Baktiawan memiliki kontak Arjuna. Kalau Fuadi, dia pikir wajar karena dulu pernah bekerja dalam satuan yang sama.
“Saya yakin mereka ada hubungan, dan itulah yang menyebabkan kenapa saya diasingkan.”
“Lho kok diasingkan? Bukannya Mas Fadli dimutasi buat promosi jabatan?” Budi masih belum mengerti dengan penuturan Fadli.
“Awalnya saya juga mikir seperti itu. Tapi kemudian saya pikir ada kejanggalan, karena waktunya terlalu mepet dari waktu peristiwa itu. Dan lagi, kejadian di tempat baru itu yang membuat saya berpikir, bahwa sebenarnya mereka ingin menyingkirkan saya.”
“Hah, emang kejadian apa Fad?”
Fadli kemudian menceritakan kisah yang dia alami di tempat kerjanya yang baru. Cerita yang membuat ketiga orang lainnya benar-benar terkejut, tak percaya bahwa Fadli menerima perlakuan seperti itu.
POV Fadli said:Selama 3 bulan dipindah tugaskan ke tempat ini, aku merasa mendapat sambutan yang kurang baik dari para anak buahku. Entah kenapa mereka seperti itu, padahal aku selalu berusaha bersikap baik kepada mereka. Selama itu pula sering sekali aku mendapatkan teror. Bukan hanya aku, tapi juga keluargaku, istri dan anakku.
Kadang ketika malam hari sedang tertidur lelap, seseorang melemparkan batu ke arah pintu maupun jendela kami, sehingga membuat beberapa kaca pecah. Kadang ketika aku pergi bekerja, istriku di rumah sering mendapat teror berupa lemparan telur busuk di pintu rumah kami. Aku sudah meminta anak buahku untuk menyelidikinya, namun mereka sepertinya enggan untuk melakukan itu.
Aku memang mendengar jika di daerah itu, ada beberapa kelompok yang kurang bersahabat dengan polisi, bahkan beberapa kali bersitegang dengan kepolisian. Awalnya aku berpikir bahwa semua teror yang kami alami ini hanyalah sebuah shock therapy untukku yang menjabat sebagai kapolres yang baru.
Sampai suatu saat aku menyadari bahwa semua perkiraanku itu salah. Suatu malam, ketika ada seorang teman lama yang kebetulan bekerja di daerah ini bertamu ke rumahku, terjadilah sebuah peristiwa yang berakhir tragis untuk keluargaku. Saat itu aku ijin kepada istriku untuk pergi ke warung, membeli rokok dan beberapa makanan ringan karena memang kami tidak punya persediaan, dan sedang ada tamu. Istriku mengiyakan dan berganti menemai temanku itu.
Aku terpaksa pergi ke warung yang agak jauh karena warung di dekat rumahku tutup. Sekitar setengah jam aku pergi meninggalkan rumah, dan saat kembali, aku melihat kobaran api dari kejauhan. Perasaanku tak enak waktu itu, karena di lingkungan itu hanya ada 3 buah rumah saja, salah satunya adalah rumah dinasku.
Kupercepat laju sepeda motorku, dan saat sudah semakin mendekat, baru aku tahu kalau yang terbakar itu benar-benar rumah dinasku. Seketika pikiranku tertuju pada anak istri, serta temanku yang tadi kutinggalkan. Suasana sudah cukup ramai oleh orang-orang yang berkumpul melihat kebakaran itu. Kuparkirkan motorku dan hendak berlari menuju ke rumahku.
Namun tiba-tiba saja kulihat beberapa orang berjalan menjauh dari kerumunan itu dengan wajah penuh senyum. Aku segera mencari tempat bersembunyi, karena aku mencurigai sesuatu terhadap mereka. Dan saat mereka mendekat itulah, aku mendengar perkataan mereka yang membuatku benar-benar shock.
“Akhirnya, beres juga tugas dari si boss,” ujar seorang dari mereka.
“Iya, padahal gampang sajalah tinggal dilenyapkan seperti itu, bunuh, lalu bakar rumahnya, habis perkara. Tapi sayangnya, kenapa harus kau bunuh juga wanita itu?” timpal seorang yang lainnya.
“Ya mau gimana lagi, namanya juga perintah boss, kita ikuti saja, yang penting kita dapat uangnya bukan.”
“Iya sih kita dapat uang. Tapi wanita itu tadi cantik sekali, bisalah seharusnya kita bawa untuk dijadikan gundik kita.”
“Gimana mau dibawa? Kalau besok boss kesini dan cuma ada 2 mayat saja, kita yang repot.”
“Ah bodoh sekali kau, kan tinggal kita cari satu orang lagi entah siap, kita bunuh, lalu kita bakar tubuhnya seperti tadi, tak akan ada yang mengenali bukan? Lagipula, kalaupun memang dia harus dibunuh, kenapa kita tidak main-main dulu tadi dengannya?”
“Ah sudahlah, tak perlu banyak bicara. Yang penting tugas kita sudah beres. Apalagi uang yang kita terima ini jauh lebih besar daripada yang dulu waktu kita ditugaskan untuk membunuh pria itu. Ya sudah, ayo kita lapor ke boss Ronal.”
Ronal? Apakah yang mereka maksud adalah Ronal anak buahku? Setahuku memang hanya dia yang namanya Ronal di daerah ini. Tapi kenapa, dia menyuruh orang-orang ini untuk menghabisiku dan keluargaku? Entah siapa orang-orang ini, tapi yang pasti mereka tidak tahu kalau pria yang ada di rumah itu bukanlah aku.
“Ah iya, benar sekali kau. Yang dulu itu susah sekali dibunuhnya.”
“Iyalah, dia itukan orang dari pasukan khusus kepolisian.”
“Iya, siapa itu namanya? Lupa aku.”
“Rio. Rio Argiantono.”“Apa? Rio? Maksudmu, Rio juga dibunuh oleh orang-orang itu?” tanya Marto terkejut saat Fadli menyebutkan nama Rio.
“Iya, itu yang saya dengar Mas.”
“Bentar, dimana kemarin kamu dipindah tugaskan itu?”
“Di daerah timur Mas, di kota paling timur negeri ini.”
Marto terdiam, mencoba mengingat-ingat kembali apakah Rio pernah berada di kota itu.
“Ah iya, aku ingat. Rio memang pernah mengatakan kepadaku kalau dia ditugaskan di kota itu. Tapi, itu sudah lama sekali, belasan tahun lalu. Lagipula setelah itu, aku masih sering bertemu dengannya, bahkan tahun kemarin aku masih bertemu dengannya.”
“Ya sayang kurang mengerti soal itu Mas, tapi memang memang nama itu yang saya dengar dari mulut mereka.”
“Lalu bagaimana dengan Ronal yang kamu sebutkan tadi? Apakah benar dia adalah Ronal anak buahmu? Dan bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau ini ada hubungannya sama Arjuna?”
“Iya Pak, Ronal yang dimaksud itu memang benar anak buah saya. Malam itu juga saya langsung menyusup ke rumah Ronal yang kebetulan tidak begitu jauh dari rumah saya. Dan saat itu saya mendengar dia sedang menelpon seseorang. Dia seperti sedang melaporkan bahwa tugasnya untuk menghabisi saya dan keluarga saya sudah beres. Dan kenapa saya bisa menyimpulkan itu semua ada hubungannya dengan Arjuna, karena di akhir pembicaraan mereka, Ronal menyebut nama Arjuna.”
“Berarti, Arjuna memang berniat melenyapkan kamu, karena kamu mengetahui ada hubungan antara dia dengan Baktiawan. Kenapa kamu tidak memberi tahuku saat itu juga Fad?”
“Waktu itu ponsel saya tertinggal di rumah karena sedang di charge, dan yang pasti ikut hancur karena kebakaran itu. Saya jadi tidak bisa menghubungi siapapun. Saya juga tidak bisa melaporkan kejadian ini karena saya beranggapan bahwa semua anak buah saya memang berada di pihak Arjuna, karena itulah saya memutuskan untuk menghilang dulu saat itu, agar benar-benar dianggap sudah mati.”
“Malam itu sebenarnya saya sangat marah dan ingin langsung membunuh si Ronal itu, tapi saya pikir kalau saya lakukan saat itu juga, mereka akan curiga. Karena itulah saya terpaksa menahan diri dulu, dan baru menghabisinya beberapa minggu kemudian, membuatnya seolah-olah mengalami kecelakaan.”
“Lalu setelah itu, apa yang kamu lakukan? Kenapa tidak segera kembali kesini dan memberi tahu kami?”
“Tidak bisa semudah itu Pak. Karena disana saya dianggap sudah mati, jadi kalau saya bepergian naik pesawat atau kapal laut, sudah pasti identitas saya terbongkar, dan mereka akan mengejar saya lagi. Sejak itulah saya mengubah penampilan dan identitas saya kemudian bekerja di sebuah perusahaan perkayuan yang letaknya jauh dari kota itu sebagai buruh kasar.”
“Dua bulan yang lalu saya beserta beberapa orang mendapatkan tugas untuk mengawal kayu yang akan dikirimkan ke jawa. Sejak sampai di jawa saya memisahkan diri dengan teman-teman saya dan menuju kota ini. Sebenarnya saat itu saya ingin segera menemui Bapak, tapi melihat kondisi di kota ini, saya jadi menundanya. Saya mengamati situasi terlebih dahulu sebelum kemarin meyakinkan diri untuk menemui Bapak.”
“Sayang sekali, sudah sangat terlambat Fad. Kalaupun benar Arjuna terlibat dengan Baktiawan, dan mungkin juga kejahatan-kejahatan yang terjadi belakangan ini, sudah tidak bisa lagi kan untuk mengusutnya. Dia sudah tewas kemarin.”
“Apakah Pak Wijaya berpikir dia benar-benar tewas jika memang memiliki hubungan dengan semua kejadian ini?”
“Maksudmu gimana Fad? Sudah jelas-jelas ditemukan jasadnya kan?”
“Saya juga mengikuti beritanya Pak, tapi jasad itu tidak bisa dikenali karena terkena ledakan bukan? Saya rasa itu hanya kamuflase saja. Saya memiliki perkiraan, bahwa sebenarnya Arjuna masih hidup.”
“Tunggu sebentar. Jika memang begitu, apakah hal yang sama terjadi pada Fuadi ya?”
“Maksud Pak Wijaya?”
“Beberapa hari yang lalu, di hari yang bersamaan dengan penggerebekan yang gagal itu, aku mendapat kabar dari seseorang di markas besar, kalau Fuadi dinyatakan tewas di penjaranya sana.”
“Apa? Fuadi tewas?” ucap Marto dan Fadli nyaris bersamaan.
“Iya. Menurut informasi yang diberikan orang itu, Fuadi dinyatakan tewas karena serangan jantung oleh dokter lapas yang memeriksanya. Tapi anehnya, saat itu jasad Fuadi langsung diambil oleh seseorang yang mengaku sebagai keluarganya yang kebetulan sekali berkunjung kesana. Supir ambulan dan seorang perawat yang ikut mengantarkannya kembali ke penjara itu dengan cepat, karena mereka hanya mengantarnya sampai ke rumah sakit kota, setelah itu semua urusan diambil alih oleh orang yang mengaku keluarganya itu.”
“Aku sendiri heran, setahuku Fuadi tidak pernah punya riwayat penyakit berat seperti itu, bahkan keluarganya pun juga tidak ada. Tapi kenapa dia bisa sampai mendadak terkena serangan jantung.”
“Hmm, apa ada informasi tentang barang-barang yang ada di selnya Fuadi, Yah?” tanya Budi yang sedari tadi hanya diam saja.
“Maksud kamu Bud?”
“Ya, apakah di dalam selnya, selain yang memang barang-barang kelengkapan milik penjara, ada benda-benda lain?”
“Oh, ada. Katanya ada sebuah kotak cerutu yang tertinggal disitu,” jawab Wijaya yang kemudian membuat Budi mengangguk-anggukan kepalanya.
“Berarti Fuadi tidak tewas Yah, tapi dia melarikan diri dari penjara.”
“Loh, kenapa kamu bisa berkesimpulan seperti itu?”
“Tetrodotoxin,” tiba-tiba Marto menyela.
“Apa itu, tetrodotoxin?”
“Benar yang dibilang Mas Marto. Kemungkinan besar itu adalah racun tetrodotoxin yang disuntikan ke cerutu, jika memang ada kotak cerutu di selnya Fuadi.”
“Maksud kalian, Fuadi diracun? Tapi kenapa dibilang nggak mati? Malah dibilang kabur? Apa itu artinya dokter lapas berbohong? Setahuku tidak mungkin dokter itu akan berbohong, aku cukup mengenalnya, dia bukan orang yang dengan mudah dipengaruhi, dia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Diancam pun tak akan mempan, karena dia juga sudah tak punya keluarga sama sekali, bahkan orang-orang menganggapnya sedikit, gila.”
“Bukan Yan, dokter itu tidak berbohong. Dan Fuadi sengaja diberi racun itu untuk memalsukan kematiannya. Racun tetrodotoxin ini adalah racun yang sangat mematikan. Tapi dengan dosis yang sudah diperhitungkan, dia akan membuat gangguan pada fungsi saraf, termasuk memperlambat kerja jantung hingga hampir nol, tapi sebenarnya jantung itu masih berfungsi dengan baik.”
“Dengan dosis yang sudah diperhitungkan itu, orang yang mengalami keracunan ini memang akan terlihat benar-benar meninggal, namun beberapa jam kemudian dia akan tersadar. Akan tetapi setelah tersadar dia harus segera mendapatkan perawatan intensif agar bisa kembali pada kondisi sebelumnya, karena kalau tidak, dia akan benar-benar tewas. Mungkin inilah alasan kenapa ambulan dari lapas hanya mengantarkan sampai rumah sakit kota dan sisanya diurusi oleh orang itu, tentu saja untuk segera memberi perawatan kepada Fuadi.”
“Tapi kenapa tidak ada laporan dari rumah sakit mengenai hal itu?”
“Tentu saja tidak ada. Tidak mungkin mereka akan merawat Fuadi disitu karena pasti akan terpantau, mereka pasti memutuskan untuk merawatnya sendiri. Saya yakin mereka memiliki alat-alat yang diperlukan untuk itu. Jelas sekali, karena mereka juga memiliki perangkat super canggih untuk melakukan serangan cyber yang menyebabkan kekacauan di banyak bank beberapa waktu yang lalu.”
Penjelasan dari Budi ini membuat semuanya terdiam, larut dalam pikiran mereka masing-masing. Jika benar Fuadi melarikan diri dari penjara, kemudian sebenarnya Arjuna tidak tewas dan membelot dari kepolisian, serta Rio yang sekarang ini bukanlah Rio yang seharusnya mereka kenal, maka apa yang sedang mereka hadapi ini benar-benar akan sangat mengerikan. Tidak heran jika kelompok Mata Angin kembali muncul dengan mudahnya setelah sekian tahun menghilang.
“Fad, apakah masalah Arjuna ini pernah kamu ceritakan ke orang lain sebelumnya? Karena kalau memang Arjuna berkhianat, pasti dia tidak sendiri.”
“Saya juga curiga akan hal itu Pak, tidak mungkin Arjuna bergerak sendiri meskipun dulu Pak Wijaya pernah melakukan pembersihan terhadap oknum-oknum anggota yang menyimpang. Karena itulah saya tidak sembarangan memberitahukan hal ini kepada orang lain, takutnya malah yang saya beritahu adalah salah satu dari mereka.”
“Jadi, tidak ada yang tahu kan?”
“Hmm, sebenarnya ada Pak, karena itulah saya ingin tadi kita bicarakan ini dengan Mas Marto.”
“Loh, hubungannya sama aku apa Fad?” tanya Marto yang bingung kenapa namanya disebut.
“Maaf sebelumnya Mas Marto, sebelum saya pergi dari kota ini, saya sempat memberitahukan semua ini sama Safitri, dan memintanya untuk secara diam-diam menyelidiki Arjuna. Saya juga berpesan agar Fitri tidak sampai memberitahukan hal ini kepada siapapun termasuk Mas Marto.”
“Awal-awal saya pindah tugas saya masih sempat beberapa kali menghubungi Fitri untuk mengetahui perkembangannya. Saat itu dia bilang belum mendapatkan apa-apa. Ya karena memang saya memintanya untuk melakukan itu dengan pelan-pelan agar tidak menimbulkan kecurigaan dari Arjuna. Tapi setelah anak istri saya dibunuh itu, saya udah nggak pernah bisa menghubungi dia, jadi saya nggak tahu lagi perkembangannya seperti apa.”
“Hmm, jadi itu yaa. Aku memang curiga ada yang dia sembunyikan, tapi aku tak pernah bertanya, dan dia juga tak pernah menceritakannya.”
“Nanti kamu ajak ngomong istrimu baik-baik To, bilang aja kamu udah ketemu sama Fadli, pasti dia akan menceritakan semuanya, termasuk hasil yang dia peroleh setelah selama ini menyelidiki Arjuna,” ujar Wijaya memberikan saran.
“Baik Pak.”
“Tapi yang aku masih bingung itu soal Rio. Kalau memang benar Rio sudah dibunuh belasan tahun yang lalu, terus, Rio yang sekarang ini siapa? Orang ini mirip sekali dengan Rio yang aku kenal, baik wajah maupun sifatnya, meskipun kami memang jarang sekali bertemu sih. Benar-benar nggak masuk diakal.”
“Tapi, menurut saya, semuanya sekarang semakin masuk akal Pak,” ucap Marto yang membuat Wijaya menatapnya heran.
“Maksud kamu?”
Marto kemudian menceritakan kepada mereka perihal fakta tentang siapa sebenarnya Yani yang juga baru diketahuinya kemarin. Dia menceritakan dari awal tentang kematian wanita yang dianggapnya sebagai Astri waktu itu. Dia juga memberitahukan bagaimana kemudian dirinya berubah menjadi orang yang jahat sejak kepergian Astri, sampai akhirnya bergabung menjadi anak buah Baktiawan.
Selanjutnya Marto juga menceritakan bagaimana Baktiawan ingin menyingkirkannya, namun kemudian dia selamat dan dirawat oleh Yani. Lalu tentang Yani yang akhirnya ikut bersama dengannya setelah dia menikah dengan Fitri. Juga tentang komunikasi yang dilakukan secara diam-diam antara Yani dengan Rio. Sampai pada hasil tes DNA yang dilakukannya terhadap Yani.
Ditambah dengan cerita dari Fadli, Marto meyakini bahwa jika benar Rio yang sebenarnya sudah dibunuh belasan tahun lalu, berarti sosok Rio yang sekarang memang ada hubungannya dengan semua kejanggalan-kejanggalan yang sempat mengganggu pikirannya. Perihal sosok Rio sekarang yang mirip dengan Rio yang sebenarnya, Marto mengungkapkan perkiraannya tentang pertukaran wajah, seperti yang kemungkinan besar terjadi kepada Yani.
Mendengar penuturan Marto ini mereka semua terdiam. Jika memang benar seperti itu kejadiannya, artinya mereka harus sangat berhati-hati dengan Rio ini. Mereka mungkin sudah mengenal bagaimana sifat bahkan kemampuan Rio yang sebenarnya, tapi berbeda dengan Rio yang sekarang ini, karena siapa sosok yang berada di balik wajah Rio itu mereka sama sekali tidak tahu.
Pada akhirnya Budi juga ikut menceritakan tentang apa yang kemarin terjadi kepada Ara istrinya. Dia merasa yakin bahwa selama ini istrinya diikuti oleh seseorang. Bahkan jika memang semua yang telah dibicarakan tadi saling berhubungan, kemungkinan besar bukan hanya Ara saja yang diikuti, tapi ada orang-orang lain juga. Pembicaraan mereka masih berlanjut, terutama untuk membahas langkah-langkah apa saja yang akan mereka ambil setelah mengetahui semua ini. Mereka sadar, semakin lama mengambil tindakan, akan semakin berbahaya, baik untuk mereka, dan juga keluarga mereka.
*****
Same Time
Somewhere In Kaliurang
Setelah menyelesaikan makan siangnya, kini Bastian, Rio, Fuadi, Arjuna, David, Steve, Dokter Lee dan juga Tono sedang duduk di ruang tamu villa ini. Villa ini sebenarnya adalah milik Baktiawan yang pernah diakui kepemilikannya oleh Risman setelah Baktiawan tewas. Bahkan Risman dengan bantuan temannya yang seorang pengacara sampai membuat surat warisan palsu untuk meyakinkan semua orang bahwa villa itu menjadi milik Risman.
Namun Bastian yang mengetahui akal-akalan Risman sudah bertindak. Kini Risman dan pengacara yang membantu membuat surat warisan palsu itu sudah dia bereskan. Dengan begitu villa ini menjadi miliknya. Villa ini sebenarnya cukup besar dan dulunya sering disewa untuk mengadakan berbagai acara, namun kini Bastian sudah merenovasinya dan menetapkan ini sebagai villa pribadi yang tak boleh disewa orang lain.
Di villa inilah dia selalu menginap jika datang ke kota ini. Jika sedang tidak dia pakai, maka anak buahnya lah yang menggunakan, terutama Steve dan David yang memang cukup lama menetap disini untuk keperluan tugas dari Bastian. Di villa ini pula keempat Mata Angin pertama kali datang setelah dibebaskan dari penjara.
Kedelapan orang ini nampak sedang berbincang ringan ditemani beberapa kaleng bir dan rokok masing-masing. Hanya Rio dan Tono saja yang lebih banyak diam karena mereka masih menyimpan pertanyaan besar di kepala mereka. Tono masih bertanya-tanya tentang kehadiran Arjuna yang ternyata berada di pihak yang sama dengannya, sedangkan Rio masih bingung dengan Bastian yang memanggil Fuadi sebagai ayah.
“Kenapa lu diem aja Yo?” tanya Bastian menyadari diamnya Rio.
“Kagak, gue masih penasaran ama elu, kenapa manggil Pak Fuadi ayah?” Rio akhirnya mengutarakan pertanyaannya.
“Hahaha. Yaudah kalau gitu bakalan gue ceritain. Tapi kayaknya biar ayah aja deh yang nyeritain awalnya, entar gue yang lanjutin,” ujar Bastian sambil menatap Fuadi.
“Oke, aku bakalan cerita, tentang bagaimana awalnya semua ini bisa terjadi, sampai harus melibatkan kalian semua sekarang ini,” Fuadi mengubah posisi duduknya, sedangkan yang lain kini fokus menatapnya, menunggu cerita yang akan disampaikan.
“Sebelumnya, mungkin yang tahu semua ini baru aku, Dokter Lee dan Bas. Steve dan David mungkin sudah mendapat cerita dari Bas, tapi aku yakin belum semuanya. Begitu juga Arjuna yang sudah pernah aku kasih tahu, tapi itu juga belum semua.”
“Semua ini berawal dari persainganku dengan Wijaya lebih dari 20 tahun silam. Kami ini satu angkatan masuk di kepolisian, dan sejak awal masuk itu kami sudah sangat dekat, seperti layaknya sahabat. Semuanya kami lalui bersama, sejak di pendidikan sampai kami lulus. Kami saling bantu saat itu, semua kesusahan ditanggung bersama, semua kebahagiaan dirasakan bersama.”
“Kebersamaan kami masih terus terjalin dengan baik beberapa tahun setelah lulus. Tapi akhirnya semua itu berubah sejak dia memperoleh promosi untuk pertama kalinya. Dia mulai menampakkan sifat aslinya, yang rakus dan gila jabatan. Dia mulai menghalalkan segala cara untuk mendapatkan penilaian yang bagus dari para atasan. Dia bahkan tak segan untuk mengorbankan orang lain demi mencapai tujuannya, termasuk aku, sahabatnya sendiri.”
“Berkali-kali dia meminta bantuanku ataupun orang lain untuk memecahkan kasus, dan nanti jika sudah terpecahkan, dia akan mengakui itu sebagai murni hasil kerjanya. Sedangkan jika mengalami kegagalan, maka dia selalu melimpahkan kesalahan kepada orang lain, tidak pernah mau bertanggung jawab. Karena itulah dia mulai menjadi anak emas para atasan kami.”
“Aku dan teman-teman yang lain masih mencoba bersabar sambil sesekali mengingatkannya, tapi semakin lama kegilaannya terhadap jabatan itu kian menjadi, hingga membuatku benar-benar muak. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Baktiawan, yang juga memiliki dendam kepada Wijaya. Sejak itulah aku dan Baktiawan semakin dekat.”
“Dendam Baktiawan awalnya hanya sepele, yaitu masalah wanita, yang sekarang jadi istrinya Wijaya. Wijaya dan Baktiawan sendiri sebenarnya juga berteman cukup dekat pada awalnya. Saat itu mereka mendekati wanita yang sama, yaitu Aini, dan sepakat untuk melakukan persaingan secara sehat. Baktiawan sudah sempat sangat dekat dengan Aini waktu itu bahkan mereka juga merencanakan untuk menikah, namun dengan segala tipu daya dan hasutan Wijaya berhasil merebut Aini, bahkan membuat Aini membenci Baktiawan.”
“Dari situlah pertemanan antara Baktiawan dan Wijaya mulai renggang. Wijaya juga tahu kalau Baktiawan memiliki usaha gelap, namun berjanji tidak akan mengusiknya jika dia mau merelakan dan melupakan dendamnya karena perebutan Aini. Akhirnya Baktiawan pun mengalah, dan bertemu dengan wanita lain, yang bernama Marini yang tak lain adalah sahabat dari Aini. Tapi rupanya Wijaya ini serakah juga terhadap perempuan, sampai akhirnya berhasil merayu Marini padahal dia sudah menikah dengan Aini, bahkan Marini sampai hamil, dan kalian tahu sendiri siapa anak yang dilahirkannya, dia adalah Sakti.”
“Kebencian Baktiawan semakin bertambah saat Wijaya berhasil menghancurkan bisnis gelap miliknya. Awalnya Wijaya mengabari Baktiawan agar segera membereskan tempatnya karena akan dilakukan razia disana. Namun ternyata, Wijaya sengaja memberikan informasi yang salah terkait dengan waktu pelaksanaan razia. Sehingga saat Baktiawan dan anak buahnya sedang beres-beres, saat itu mereka digerebek. Beruntung saat itu Baktiawan berhasil lolos dan tak sampai masuk penjara.”
“Saat itu saking dendamnya dengan Wijaya, Baktiawan berencana untuk menghabisinya saat itu juga. Tapi kemudian aku melarangnya, dan memberikan beberapa saran kepadanya. Terlalu enak jika Wijaya harus dibunuh begitu saja setelah semua yang dia lakukan kepada kami, maka sejak saat itulah kami merencanakan bagaimana untuk balas dendam kepadanya.”
“Akhirnya kami menyusun sebuah rencana jangka panjang. Dimulai dari membesarkan anak Wijaya yang dikandung oleh Marini, sampai saatnya nanti digunakan sebagai senjata untuk balas dendam. Selama bertahun-tahun kami lebih fokus dengan karir dan usaha kami, mengumpulkan banyak uang supaya rencana ini berhasil dengan baik. Selama itu pula Baktiawan selalu sejalan denganku dalam menjalankan rencana kami.”
“Namun kemudian Baktiawan mulai berulah. Dia banyak mengubah sendiri detail dari rencana yang sudah kami susun. Aku tahu itu, tapi aku nggak ngomong ke dia, karena aku juga punya rencana sendiri. Dan bahkan rencanaku itu sudah aku mulai, tanpa dia menyadarinya. Kalian tahu apa yang sudah kulakukan?”
Fuadi mengedarkan pandangannya melihat orang-orang di hadapannya nampak bingung. Tentu saja kecuali Dokter Lee dan Bastian yang sudah mengetahui semuanya. Mereka pun menggelengkan kepala, lalu Fuadi mulai melanjutkan ceritanya.
“Selama bekerja sama dengan Baktiawan, aku yang selalu melindungi usaha-usahanya, baik yang legal maupun ilegal. Tentu saja itu bukan tanpa tujuan, karena ketika usaha itu sudah besar seperti sekarang, akulah yang akan menguasai semuanya. Tapi tentu saja aku tak bisa melakukan itu dengan mudah, karena itulah aku membutuhkan ahli warisnya untuk berada di pihakku.”
“Sudah lama aku tahu bahwa Baktiawan memiliki anak yang tinggal di luar negeri yang bernama Sebastian Mahendra. Aku tahu bagaimana watak Bastian yang sebenarnya, dan akan sangat sulit untuk membuatnya berada di pihakku karena dia sangat menghormati ayahna. Jadi kupikir satu-satunya cara adalah dengan menghabisinya.”
“Loh, maksudnya Pak Fuadi, menghabisi Bastian? Lalu, orang ini?” tanya Rio semakin bingung, sambil tangannya menunjuk Bastian yang duduk di sebelah Fuadi.
“Sama seperti yang terjadi pada kamu. Kita telah membunuh Rio Argiantono, lalu mengambil wajahnya dan memasangkannya padamu, Leonard Nugroho.”
“Jadi, orang ini bukanlah Sebastian Mahendra, lalu siapa?”
“Baskara. Baskara Andi Suseno. Dia anak kandungku,” jawab Fuadi dengan senyum lebar tersungging di bibirnya.
“Anjrit, jadi selama ini, orang yang gue kenal itu bukan Bastian tapi Baskara? Gila lu emang Bas, gila.”
“Haha, lu tenang aja Yo, nggak ngaruh juga kan. Tapi lebih baik kita tetap pada identitas kita yang sekarang, gue sebagai Bastian, dan elu sebagai Rio, paling nggak sampai semua ini selesai.”
“Yah, serah lu aja deh Bas.”
“Terus boss, soal Pak Arjuna? Gimana itu?” tanya Tono mengalihkan pembicaraan mereka, karena dia masih penasaran dengan Arjuna.
“Oke, aku lanjutin lagi ceritanya. Aku memulai semua itu setelah bertemu dengan Dokter Lee, dokter ahli bedah plastik terbaik di korea. Sejak perkenalanku dengan Dokter Lee inilah yang memunculkan semua ide ini. Sebagai percobaan pertama, aku mencobanya sendiri pada Baskara. Kami semua terbang ke Inggris waktu itu, untuk membunuh sekaligus mengambil wajah Bastian, ditukar dengan wajah Baskara. Dan seperti yang kalian lihat, hasilnya benar-benar sempurna bukan?”
“Lalu aku dan Baskara mulai memainkan peran kami masing-masing, tapi kami butuh pion-pion lainnya untuk melanjutkan rencana ini. Akhirnya pilihanku saat itu jatuh kepada Marto. Dia seorang polisi yang memiliki kemapuan dan potensi sangat baik, karena itulah jika bisa menariknya berada di pihak kita, maka akan semakin mudah untuk memuluskan rencana ini.”
“Tentu saja tidak mudah menarik Marto ke pihak kita. Maka aku memutuskan menggunakan Rio sebagai alat. Sebenarnya bisa saja aku memilih Rio ketimbang Marto karena kemampuan strateginya jauh di atas Marto. Tapi faktor hubungan keluarga antara Rio dan Wijaya membuatku memiliki rencana lain. Rio harus dibuat seperti Bastian, yaitu membunuhnya, lalu menggantikannya dengan orang lain. Dan disinilah peran kamu Leo.”
“Marto seorang yang tangguh, tapi hatinya rapuh. Satu-satunya yang bisa mengubahnya saat itu adalah Astri istrinya. Dan dulu aku perintahkan Leo yang sudah menjadi Rio, untuk menculik Astri, dan membunuhnya. Tapi malah Leo jatuh cinta kepada Astri dan tak ingin wanita itu mati, karena itulah terpaksa Dokter Lee kembali bekerja, menukar Astri dengan orang lain.”
“Beruntung sekali saat itu Leo menemukan wanita yang kondisinya sama dengan Astri, sedang hamil muda, dan itu semakin memudahkan rencana ini. Dengan mencuci otak Astri, dan mengubahnya menjadi Yani, maka Leo bisa terus berhubungan dengannya, sedangkan Marto tetap menganggap bahwa istrinya itu telah mati.”
“Dan seperti yang kalian ketahui, akhirnya Marto membelot dan bergabung dengan pihak kita. Sedangkan Arjuna, dia memang sudah sejak lama sepaham denganku. Maka aku tugaskan dia seolah-olah berada di pihak Wijaya, sampai akhirnya menjadi orang kepercayaan Wijaya.”
“Tapi bukannya kemarin harusnya Pak Arjuna tewas saat penggerebekan itu?” tanya Tono yang masih tak mengerti.
“Semua itu sudah aku atur Ton. Gedung itu memiliki sebuah pintu rahasia yang sudah dipersiapkan. Saat Arjuna masuk ke gedung itu, sebenarnya sudah ada tergeletak mayat disitu dari yang sudah didandani dengan seragam yang sama persis dengan yang dipakai Pak Arjuna. Memang benar ada suara tembakan, dan teriakan dari Pak Arjuna, tapi tembakan itu sama sekali tak mengenai dia. Dan sebelum bom itu diledakkan, Pak Arjuna sudah masuk dan menjauh melalui pintu rahasia itu. Dengan efek dari ledakan itu, maka mayat itu tak bisa dikenali lagi. Dan semua orang pasti akan menyangka bahwa itu adalah Pak Arjuna,” jawab Bastian menerangkan perihal keadaan Arjuna saat operasi penyergapan waktu itu.
“Wah wah wah, boss ini memang hebat. Saya kok bisa nggak tahu sih boss?”
“Ya karena memang belum waktunya aja buat kalian tahu.”
“Tapi kan boss, masak kita nggak dikasih tahu sebelumnya? Jangankan masalah Pak Arjuna ini, masalah perampokan itu aja, saya juga baru dikasih tahu besoknya,” ujar Tono agak sebal kepada Bastian.
Tono memang sama sekali tidak diberi tahu Bastian mengenai perampokan aneh yang selama ini dikenal dengan phantom robbery itu. Dia sama halnya seperti semua orang yang bertanya-tanya, bagaimana bisa para perampok itu seperti menghilang, tak ada bekasnya sama sekali kecuali selembar bendera kelompok Mata Angin. Baru setelah beberapa kali menanyakan akhirnya Bastian menceritakan perampokan aneh itu kepada Tono.
Perampokan itu sebenarnya tidak seaneh seperti yang dibayangkan orang-orang selama ini. Yang melakukannya tetap manusia biasa, dan mereka sama sekali tidak punya keahlian khusus seperti menghilang begitu saja. Kunci dari semua itu sebenarnya terletak pada Arjuna. Dia, atas arahan dari Bastian yang membuat peristiwa itu terlihat aneh di mata orang lain.
Para perampok itu saat memasuki bank, mereka masing-masing membawa tas yang berisi seragam polisi yang sama persis dengan yang dipakai oleh petugas yang mengepung mereka. Setelah berhasil menguras brankas bank tersebut, mereka melemparkan gas tidur untuk membuat para sandera itu pingsan. Tentu saja sebelum melakukan itu mereka sudah mempersiapkan diri dengan masker khusus, seperti yang dipakai oleh para polisi.
Setelah para sandera itu pingsan, mereka dengan cepat segera mengganti pakaiannya, lalu menyimpan uang yang telah diambil di ruangan kepala bank yang ada di lantai 2. Karena itulah mereka merusak semua kamera CCTV saat baru memasuki bank. Dan pada saat polisi yang mengepung itu masuk ke dalam bank, mereka sebenarnya masih menunggu di ruangan tempat mereka menyimpan uangnya.
Saat polisi menggeledah setiap sudut dari bank tersebut, sudah diatur bahwa petugas yang menggeledah bagian atas adalah oknum yang selama ini berpihak kepada Arjuna, maka dari itu seolah-olah mereka tidak menemukan orang lain lagi di bank itu. Polisi yang panik dan kebingungan tentu saja tidak menyadari bahwa sebenarnya jumlah mereka telah bertambah 10 orang, yaitu para perampok yang menyamar.
Dan saat kemudian Arjuna masuk ke dalam bank, sebenarnya dia hanya memastikan rencananya berhasil. Lalu dia keluar dan berakting seolah-olah terlihat bodoh dan terpukul karena telah dipermainkan oleh para perampok itu. Semuanya berjalan dengan lancar karena tidak ada yang menyadari bahwa para perampok itu sudah membaur dengan para polisi.
Lalu bagaimana dengan uang yang disimpan di ruangan kepala bank itu? Bagaimana mereka mengeluarkannya dari sana? Tentu saja mudah sekali jika kepala bank itu sendiri yang membawanya. Ya, kepala bank itu tak lain adalah anak buah Bastian juga, yang telah lama ditanamkan disana. Semua uang itu baru dipindahkan keesokan harinya, setelah kondisi sudah jauh lebih tenang, dan tak ada yang menyadarinya.
Bastian, melalui Arjuna juga sudah mengatur tentang operasi penyergapan itu. Memang benar Arjuna telah mengirimkan intelnya untuk memantau pergerakan di gedung itu. Dan informasi yang diberikan oleh para intel memang benar adanya. Tapi kemudian peran dari Arjuna yang membuat perkiraan tentang berapa jumlah orang yang ada disana, dan juga berapa personel yang dia perlukan untuk melakukan penggerebekan itu.
Hingga pada saat hari pelaksanaan, gedung itu hanya berisikan 30 orang dari anggota kelompok Mata Angin. Ketiga puluh orang itu adalah anggota baru, yang sengaja tidak diberi tahu mengenai rencana ini karena memang mereka direkrut hanya untuk dikorbankan. Dan saat itulah saat yang tepat untuk memalsukan kematian Arjuna, karena dianggap tugasnya sebagai penyusup di kepolisian sudah selesai.
Arjuna memang sudah sangat lama membelot sebenarnya, karena itulah ketika ditugaskan oleh sang pimpinan untuk mencari siapa yang berkhianat dia tidak menemukannya, karena tidak mungkin dia melaporkan dirinya sendiri. Identitasnya nyaris ketahuan ketika Fadli melihat ada namanya di daftar kontak ponsel Fuadi dan Baktiawan, karena itulah dia mengatur agar Fadli dipindah tugaskan, lalu dihabisi seperti dulu yang pernah dilakukan Fuadi kepada Rio.
Arjuna pula yang bertanggung jawab untuk membebaskan keempat Mata Angin dari penjara. Dia dan anak buahnya yang juga oknum yang berkhianat, telah memalsukan dokumen keempat tahanan itu. Saat proses pemindahan, dia sendiri yang terjun langsung untuk mengawasi. Pihak lapas yang saat itu tidak diperbolehkan mendekat juga atas permintaan dari Arjuna, yang mengaku bahwa itu merupakan prosedur yang diminta dari pimpinannya.
Setelah semuanya beres, Arjuna kembali ke kantornya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia terus memantau rombongan pembawa tahanan itu untuk dilaporkan kepada pimpinannya, padahal saat itu, keempat tahanan itu sedang bersenang-senang bersama para gadis yang sudah dipersiapkan Bastian di villa ini.
“Jadi sebenarnya, ini tokoh utamanya Pak Fuadi, atau elu Bas?” tanya Rio yang masih menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar semua cerita dari Fuadi dan Bastian.
“Tokoh utamanya itu ya kita semua. Tapi kalau kamu nanya otak di balik semua ini, ya jelas jawabannya si Bas,” ucap Fuadi menyela.
“Bas yang udah merencanakan semua ini dengan sangat detail, bahkan sampai sekarang, semua ini masih berjalan sesuai dengan rencana, benar kan Bas?”
“Iya Yah bener banget. Dan sebaiknya kita segera bersiap, karena musuh yang kita tunggu-tunggu sebentar lagi akan beraksi. Gue udah ngelemparin umpan yang pasti akan disambar sama mereka tanpa sedikitpun mereka menyadarinya,” ujar Bastian.
“Umpan apaan emang?”
“Fadli.”
“Fadli? Lha bukannya si Fadli udah mati Bas?” tanya Arjuna, karena memang dialah yang telah menyuruh anak buahnya menghabisi Fadli dan keluarganya.
“Benar Pak Arjuna, Fadli memang sudah mati, tapi kami baru saja menghidupkannya kembali.”
“Dihidupkan kembali gimana? Fadli kan udah lama mati, lagipula mayatnya juga udah gosong gitu.”
“Mungkin Dokter Lee bisa menjawab?” Bastian melirik ke arah Dokter Lee sambil tersenyum.
“Yaah, tugas yang diberikan Bastian kali ini memang agak susah. Kalau sebelumnya cuma menukarkan wajah, kali ini saya harus membuat wajah yang benar-benar mirip dengan Fadli. Dia cuma ngasih saya foto dan rekaman suaranya Fadli, jadi yang repot itu ya mencari orang yang suaranya mirip dengan Fadli,” Dokter Lee mulai menjelaskan apa yang sudah dia lakukan.
“Perlu waktu yang nggak sebentar untuk mencari orang seperti itu. Setelah mendapatkan, saya harus membujuknya untuk mau berperan sebagai Fadli. Yah, meskipun harus dengan sedikit kasar, tapi akhirnya orang itu mau juga. Lalu setelah saya mengoperasinya, saya ditemani seorang anak buahnya Bastian menjelaskan apa yang harus dia lakukan, dan apa saja yang harus dia katakan.”
“Ya, seperti yang dikatakan Dokter Lee, setelah orang itu siap diapun kami perintahkan untuk menemui Wijaya dan Marto, untuk menceritakan semuanya. Tentu saja apa yang dia ceritakan itu adalah sesuai dengan karangan kami. Intinya adalah untuk memancing mereka bertindak, dan saat itu kita sudah siap dengan semuanya,” ujar Bastian menambahkan.
“Kalau hanya untuk memancing polisi ditambah dengan Marto, untuk apa repot-repot seperti itu Bas? Marto kan pasti tinggal sendiri saja, karena rekan-rekannya di Vanquish sudah kamu habisi semuanya?” Arjuna mempertanyakan langkah Bastian yang dianggapnya terlalu berlebihan.
“Tujuan utama saya sebenarnya bukan polisi atau Marto Pak, tapi orang lain. Kalau polisi sudah jelas kita akan menang, mental mereka sudah kita bikin hancur kan. Kalau masalah Marto, Steve dan David saja bisa mengatasinya.”
“Lalu, siapa yang jadi tujuan kamu?”
“Tujuan saya adalah Budi dan teman-temannya di Vanquish.”
“Apa lu bilang Bas? Vanquish? Apa ada Vanquish lain selain yang udah dibubarin kemarin? Yang anggotanya gue sama Marto?” tanya Rio yang terkejut mendengar nama Vanquish.
“Vanquish lu itu cuma abal-abal, ini Vanquish yang sebenarnya. Tapi siapa mereka kita juga belum tahu, karena itulah setelah ini Steve dan David yang gue tugasin untuk mencari informasi soal mereka, karena salah satu orang yang mengetahui betul semua informasi itu, sudah kita tahu.”
“Siapa emangnya Bas? Si Budi ya? Kan kemarin udah kita pancing.”
“Bukan. Ada orang lain lagi, tapi belum saatnya buat dikasih tahu, nunggu semua infonya lengkap dulu aja. Kalau soal Budi, dan video yang kita buat kemarin itu emang bener cuma pancingan, tapi nggak akan cukup buat manggil teman-temannya yang lain. Karena itulah kita akan masuk ke rencana selanjutnya.”
“Wah, rencana apa lagi nih?”
“Sabar aja, tapi yang pasti, lu bakal suka kok.”
“Ah taik lu Bas, dari dulu gitu terus. Nggak pernah lu mau ngasih tahu gue kalau ada yang penting-penting gini.”
“Karena otak lu emang nggak nyampe. Kalau gue kasih tahu ini ke elu sekarang, yang ada elu bakal ngerusak semua, kayak lu terus aja getol ngedeketin si Astri. Padahal kan gue udah bilang jangan lagi hubungi tu cewek untuk sementara waktu, tapi emang dasar elunya aja yang nggak bisa diatur kalau soal cewek.”
“Yaa tapi kan, yang gue lakuin justru berhasil bikin si Marto itu galau.”
“Iya galau. Untung gue tahu duluan, kalau nggak bisa rusak semua rencana kita.”
“Haha, lu emang kejam sih Bas, anak sekecil itu tega-teganya lu kasih racun.”
“Halah nggak apa-apa, nggak sampai mati juga kan. Namanya juga ngasih peringatan, biar si Marto nggak makin macem-macem. Yang penting suruh orang lu buat terus ngawasin Marto, kalau dia macem-macem, lu kerjain tu 2 orang anaknya.”
“Iye iyee gampang.”
“Oh iya, ada satu lagi yang saya masih bingung,” Tono tiba-tiba memotong pembicaraan mereka.
“Apalagi Ton? Tanya aja kalau masih bingung,” ujar Bastian menimpalinya.
“Soal Pak Fuadi. Kalau kemarin kita ngebebasin Mata Angin kan gampang, karena ada Pak Arjuna. Nah kalau yang ini, Pak Fuadi kan di Nusakambangan, yang setahu saya hampir mustahil untuk bisa melarikan diri dari sana. Dan lagipula kemarin saya denger dari berita kalau Pak Fuadi sudah meninggal, kok sekarang bisa disini, segar bugar lagi. Ini nggak pakai pintu rahasia kayak Pak Arjuna kan?” pertanyaan Tono membuat semua orang tergelak.
“Nah, kalau itu Dokter Lee yang bisa jawab Ton,” ujar Bastian yang masih menahan tawanya.
“Gimana Dok?”
“Apanya?”
“Ya yang saya tanyain itu tadi, kok bisa Pak Fuadi bisa ada disini padahal kabarnya udah meninggal?”
“Itulah susahnya kalau kerja sama Bastian Ton, harus bisa segala macem. Aku ini dokter spesialis bedah plastik, tapi bisa-bisanya disuruh mempelajari soal racun-racun. Yaa intinya aku ngasih sesuatu ke Pak Fuadi lah, sampai dia dikira meninggal, tapi sebenarnya nggak. Udahlah, aku jelasin juga otakmu nggak akan nyampai,” ujar Dokter Lee yang membuat semuanya kecuali Tono terbahak-bahak.
Kembali mereka melanjutkan obrolan tentang rencana mereka, namun kali ini lebih banyak tertawanya, tidak seserius sebelumnya. Tono dan Rio pun sudah bisa lebih rileks karena pertanyaan-pertanyaan mereka kini sudah terjawab. Memang tidak pernah mereka sangka, bahwa sebab awal mereka melakukan hal sebesar ini hanyalah sebuah dendam yang sudah tersimpan selama puluhan tahun.
Berawal dari dendam Fuadi pada Wijaya, lalu berkembang pada niat Fuadi untuk menguasai harta Baktiawan, mereka sampai harus melakukan hal-hal luar biasa ini. Sekarang Rio paham kenapa dulu Bastian memintanya untuk membunuh Baktiawan yang sedang dirawat di rumah sakit. Dia sempat bertanya-tanya, kenapa seorang anak menyuruhnya untuk menghabisi ayahnya sendiri. Tapi ternyata, Bastian yang ini bukanlah anak dari Baktiawan, pantas saja dia tega untuk menghabisinya. Tak terasa saking asyiknya mereka ngobrol, waktu sudah beranjak sore, langitpun sudah terlihat kemerahan karena matahari sudah ingin turun ke peraduannya.
“Oh iya Bas, udah jam segini, masalah ladies yang kita bicarain kemarin, gimana?” tanya Fuadi kepada Bastian.
“Eh, ada ladies-nya Bas? Mau pesta ya? Kok lu nggak bilang-bilang sih?” potong Rio sebelum Bastian menjawab.
“Busyet deh ni anak, kalau udah denger cewek cepet banget nyambernya. Otak lu emang beneran udah pindah ke selangkangan ya?” ujar Bastian sewot, meskipun sebenarnya sudah sangat memahami sifat dari Rio, yang tak jauh-jauh dari memikirkan wanita.
“Yee wajar kan gue cepet nyamber kalau urusan cewek. Itu tandanya gue masih normal, masih doyan lapis legit, daripada suruh main anggar, ogah deh gue,” ucap Rio yang membuat meeka semua terbahak-bahak.
“Jadi gimana Bas?” tanya Fuadi sekali lagi. Bastian tak langsung menjawabnya, dia mengambil ponselnya, kemudian tanganya terlihat mengusap-usap layar ponselnya itu.
“Beres kok Yah, setengah sampai satu jam lagi lah. Jadi sebaiknya kita bersiap-siap menyambut mereka.”
“Woohooooo, pesta lagi kita brooooo,” tiba-tiba saja Rio bersorak kegirangan mendengar bahwa hari ini ternyata Bastian sudah mempersiapkan wanita-wanita untuk mereka.
“Dasar penjahat kelamin,” maki orang-orang itu hampir bersamaan, namun Rio tak peduli, yang penting baginya adalah hari ini dia bisa memuaskan nafsu birahinya.
“Ton, kamu pantau terus mereka ya, pastikan semua aman,” ujar Bastian memberikan perintah. Tono pun tersenyum mengacungkan jempolnya. Tak seperti sebelumnya yang tidak tahu apa-apa, kali ini justru Tono lah yang mendapat tugas langsung dari Bastian.
****
Bersambung
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂