Mengalahkan Gadis Bagian 2 Part 3

Mengalahkan Gadis Bagian 2 Part 3
How Could This Happen?
Waktu masih cukup dini untuk memulai hari, matahari masih jauh dari waktu terbitnya, mungkin baru saja menerangi bagian timur dan sebagian wilayah tengah negeri ini. Udara pagi yang masih cukup dingin berkat guyuran hujan semalam, bagi sebagian orang memberikan sesuatu yang positif untuk memulai hari-hari mereka, namun bagi sebagian besar lainnya, kondisi yang seperti ini merupakan alasan sempurna untuk menunda meninggalkan alam mimpi mereka.
“Ayaah, banguun.”
“Heeemmm.”
“Heeeh, ayaah ayo bangun ah,” ujar sang wanita sambil menggoyang-goyang badan sang suami.
“Heemmm, jam berapa Bun?” tanya sang suami, yang masih terpejam erat matanya.
“Udah mau jam 5 ini. Ayo bangun dulu, sembahyang dulu.”
“Iya Bun.”
Perlahan Budi membuka matanya yang masih terasa berat. Sudah hampir jam 5, memang lebih lambat ketimbang sebelum-sebelumnya. Biasanya dia bangun, atau lebih tepatnya dibangunkan oleh Ara sekitar jam 4 pagi, tapi mungkin karena Ara tahu semalam Budi lembur sampai cukup larut sehingga dia sengaja agak menunda untuk membangunkan suaminya itu, meskipun dia sudah bangun lebih dari setengah jam yang lalu.
Kesadaran Budi sudah mulai terkumpul sepenuhnya. Dia kini bisa melihat wajah cantik istrinya tersenyum memandanginya. Rupanya Ara sudah mandi, terlihat dari badannya yang hanya terbungkus oleh handuk, rambut lurus sebahunya yang masih agak basah, juga butiran-butiran air di sekitaran pundaknya. Mendapati pemandangan yang begitu indah di pagi hari, tentu saja membuat mata Budi langsung terbuka sepenuhnya, diiringi dengan senyuman kepada istrinya itu.
Sudah lebih dari 3 tahun Budi menikmati pemandangan indah ini setiap paginya. Sebuah senyuman yang menurutnya paling indah di dunia, yang selalu menjadi suntikan semangat yang paling ampuh untuknya. Tak pernah ada rasa bosan untuk menikmati senyuman itu, yang ada ingin terus dan terus menikmatinya. Hal ini lah yang membuat Budi paling malas kalau disuruh tugas ke luar kota, apalagi sampai berhari-hari, karena harus absen menikmati senyuman indah istrinya.
“Udahan yah senyum-senyumnya?” tanya Ara membuyarkan lamunan Budi, sambil memencet hidung suaminya itu.
“Aduuuh kok dipencet sih Bun. Bentar dong, lagi enak nih,” jawab Budi dengan suara sengau karena kedua lubang hidungnya tertutup.
“Habisnya malah bengong sih, ayo sembahyang dulu, entar aja bengongnya dilanjut lagi. Buruan gih Bunda mau ganti baju juga,” ujar Ara sambil melepaskan tangannya dari hidung Budi.
Tanpa menjawab Budi pun segera bangkit dari tidurnya, lalu menyempatkan mengecup kening istrinya sebelum beranjak ke kamar mandi. Sementara Budi di kamar mandi Ara pun mengenakan pakaiannya. Ara belum memakai pakaian kerjanya karena hari memang masih terlalu pagi, lagipula setelah ini dia masih harus memandikan anaknya, karena Ardi lebih suka dan nurut jika dimandikan oleh bundanya.
Waktu sudah hampir jam setengah 6 ketika mereka berdua selesai melaksanakan sembahyang. Setelah menjalankan kewajibannya itu Ara pun segera menuju kamar sang anak untuk membangunkan dan memandikannya, sedangkan Budi menuju dapur untuk mengambil secangkir kopi yang sudah disiapkan oleh pembantunya. Saat hendak menuju ke meja kerja untuk mempersiapkan apa-apa yang akan dibawanya nanti tiba-tiba dia dipanggil oleh Ara.
“Ayaaaah,” panggil Ara setengah berteriak dari kamar Ardi.
“Iyaa Bun, kenapa?” balas Budi.
“Sini deh yah,” panggil Ara lagi.
Penasaran, Budi pun segera menuju ke kamar Ardi. Terlihat disana Ara duduk di sisi ranjang Ardi sambil memegangi dahi sang anak. Ardi sendiri nampak mukanya agak pucat dan terlihat masih mengantuk.
“Kenapa Bun?” tanya Budi.
“Ardi sakit deh yah kayaknya, nih badannya anget,” jawab Ara sambil menarik tangan Budi dan meletakkannya di dahi putranya itu.
“Oh iya, agak anget ya,” ucap Budi.
“Apa Bunda nggak usah masuk aja ya yah? Biar jagain Ardi aja?” tanya Ara.
“Kita bawa ke tempat eyangnya dulu aja Bun, kan di sebelahnya rumah Dokter Asih, nanti kita periksain disana. Kalau kira-kira cuma demam biasa Bunda masuk aja nggak apa-apa,” jawab Budi.
“Ya udah deh kalau gitu. Ayah mandi dulu aja sekalian siap-siap, Bunda juga mau ganti baju dulu,” ucap Ara.
“Ya udah, sekalian panggil si mbak, suruh kesini dulu jagain Ardi, sama bilangin nggak usah bikin sarapan,” jawab Budi.
Mereka pun sama-sama meninggalkan kamar Ardi untuk mempersiapkan diri masing-masing. Setengah jam kemudian mereka sudah berangkat menuju ke rumah Dokter Asih yang kebetulan bersebalahan dengan rumah Wijaya. Sepanjang perjalanan Ara terlihat khawatir dengan anaknya ini sehingga terus memeluk Ardi, sementara Budi terlihat lebih tenang. Jalanan masih cukup sepi sehingga mereka dengan cepat sampai di rumah Dokter Asih. Sesampainya di rumah Dokter Asih ternyata disana ada Aini juga, yang kelihatannya baru saja selesai menjalankan rutinitas hariannya, jalan-jalan pagi bersama Dokter Asih.
“Loh Ara, kenapa Nduk?” tanya Aini ketika Ara turun dari mobil menggedong Ardi.
“Ini Bu, si Ardi demam, mau periksa ke Dokter Asih,” jawab Ara.
“Oh ya udah sini Mbak Ara bawa masuk, biar saya periksa dulu,” sahut Dokter Asih.
Ara yang menggendong Ardi kemudian bersama Aini masuk mengikuti Dokter Asih, disusul oleh Budi. Dengan cekatan Dokter Asih memeriksa kondisi Ardi. Ara yang semula cukup khawatir menjadi lebih tenang ketika dilihat senyum dari dokter yang sudah dikenal dan menjadi dokter pribadinya sejak kecil itu.
“Nggak apa-apa kok Ardinya, cuma demam aja, mungkin karena kehujanan kemarin. Ini saya kasih obat penurun demam aja,” jelas Dokter Asih.
“Syukur deh kalau nggak kenapa-napa, saya agak khawatir tadi Dok, soalnya kan lagi banyak yang kena demam berdarah,” ujar Ara lega.
Setelah diberi obat oleh sang dokter, Budi pun menggendong Ardi dan membawanya ke rumah Wijaya. Disana mereka disambut oleh Wijaya dan Sakti yang sedang bercengkrama di teras rumah. Wijaya sempat keheranan melihat cucunya, namun setelah dijelaskan oleh Budi dan Ara diapun terlihat lega.
Mereka menyempatkan diri dulu untuk sarapan bersama di rumah Wijaya, sebelum kemudian Budi, Ara dan Sakti berangkat ke tempat kerja masing-masing. Budi mengantarkan Ara dulu sampai ke depan gerbang kantornya lalu melanjutkan menuju ke kantornya sendiri. Masih cukup sepi namun dua orang satpam kantor seperti biasa sudah stand by disana. Budi pun segera masuk ke ruangannya, menyiapkan apa-apa saja yang akan dia kerjakan hari ini.
Agendanya hari ini memang cukup padat karena akan ada kunjungan dan audit dari kantor pusat. Namun karena sudah semalaman dikerjakan oleh Budi maka pagi ini dia bisa lebih santai, hanya tinggal memeriksa beberapa bagian saja untuk memastikan semuanya beres. Setelah menyimpan dan menutup pekerjaannya, terpampanglah di layar laptop foto dirinya bersama anak dan istrinya. Budi tersenyum memandangi foto itu, foto kedua orang yang menjadi semangat hidupnya untuk saat ini.
Kembali Budi teringat peristiwa beberapa tahun silam, yang akhirnya membawanya ke kehidupan yang dia jalani sekarang. Saat itu Budi yang belum genap setahun resmi bergabung dengan sebuah organisasi rahasia bentukan beberapa pensiunan tentara, mendapatkan misi yang cukup berat baginya. Bukan berat karena harus menghadapi lawan tangguh atau mempertaruhkan nyawanya, namun karena pilihannya untuk menerima misi itu akan membuatnya mengorbankan begitu banyak hal, termasuk kehidupan dan cintanya.
“Eh Mbak Gita, duh ngagetin aja deh senengnya,” ucap Budi terkaget saat melihat Gita sudah berdiri di dekatnya.
“Ya lagian, pagi-pagi gini kamu malah ngelamun gitu. Mikirin apa tho Bud?” tanya Gita.
“Hehe, ada deh, mau tahu aja,” jawab Budi terkekeh.
“Hadeeh dasar kamu tuh ya kacab nggak jelas. Gimana persiapan audit hari ini Bud?” tanya Gita.
“Udah beres kok, semalem udah tak lembur, kamu gimana Mbak?” tanya Budi.
“Punyaku juga udah beres, tinggal ngecek punya yang lain nih,” jawab Gita.
“Mereka nanti datengnya jam berapa sih Mbak?” tanya Budi lagi.
“Kalau informasinya kemarin sih mereka bakal datang sekitar jam 9, ya kita siapin aja deh dari sekarang biar nggak repot nantinya, gimana?”
“Ya udah, mending mulai dicek aja kerjaan anak-anak lainnya Mbak.”
Tak lama berbincang, Gita pun meninggalkan ruangan Budi untuk memulai pekerjaan mereka masing-masing. Budi kembali memandang foto di layar laptopnya. Senyum terkembang di bibirnya. Dia memang sempat merutuki keputusannya dulu. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk menyembuhkan kesedihannya. Beberapa bulan setelah pertemuan terakhir dengan kekasihnya itu Budi yang penasaran sempat memeriksa nomor kekasihnya, namun sudah lama tak ada aktivitas baik SMS maupun telepon, setelah dipastikan ternyata nomor itu sudah tidak aktif lagi.
Sampai sekarang Budi tak pernah tahu lagi kabar mantan kekasihnya itu. Ada rasa penasaran sebenarnya, rasa ingin tahu bagaimana kabar sang mantan, namun dia lebih memilih untuk tak mencari tahunya, karena akan membuka luka lamanya lagi. Dia hanya berharap kini mantannya itu sudah hidup bahagia dengan orang lain, orang yang dicintainya.
Kini dia merasa bahwa pilihannya untuk menerima misi ini sudah tepat. Awalnya sempat ada semacam kekhawatiran dalam dirinya karena dia belum mengetahui seperti apa keluarga yang harus dia lindungi itu. Dia belum tahu seperti apa sosok wanita yang harus dia dekati dan selanjutnya dia lindungi. Apakah wanita itu akan lebih baik daripada mantan kekasihya atau justru lebih buruk lagi? Apakah nantinya dia akan menemukan kecocokan dengan wanita itu atau tidak? Semua itulah yang mendasari kekhawatirannya, sampai akhirnya dia melihat Ara secara langsung.
Begitu melihat sosok Ara, wanita yang harus dia dekati, dia benar-benar merasakan kekaguman pada gadis itu. Secara fisik, gadis itu sungguh menarik, parasnya yang ayu dan sikapnya yang lemah lembut, siapa pria yang tak akan tertarik padanya? Rasa kekaguman dan ketertarikannya kian bertambah setelah Budi mencari tahu tentang latar belakang Ara, siapa orang tuanya, keluarganya, bagaimana kehidupannya, sifat-sifatnya, teman-temannya, lingkungan sekitarnya, semuanya. Dan semakin mencari, semakin dia penasaran dengan gadis itu, hingga akhirnya memantapkan diri untuk menerima misi itu dan mulai mendekati Ara.
Pertemuan pertama mereka sesungguhnya bukanlah sebuah kebetulan, karena Budi yang memang bekerja di bank yang berdekatan dengan kampus Ara, sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Mencari-cari kesempatan yang tepat untuk bisa berkenalan dengan gadis itu, dan mulai mendekatinya. Berawal dari keterpaksaan menerima misi itu, akhirnya Budi benar-benar jatuh cinta kepada Ara.
Dan ternyata, kekhawatirannya dulu tak pernah terjadi hingga kini, dia bahkan merasa nyaman dengan wanita yang saat ini, selama lebih dari 3 tahun ini selalu menemani dan mengisi hari-harinya, bahkan hingga dikaruniai anak yang begitu pintar dan lucu seperti Ardi. Ara benar-benar telah mampu mengisi kekosongan hatinya, dan menjadi pengganti yang sempurna untuk mantan kekasihnya itu. Misi seumur hidup yang awalnya dia jalani dengan keterpaksaan dan kesedihan, kini dia jalani dengan rasa cinta dan kebahagiaan.
‘Maafin Mas ya Neng kalau harus berakhir seperti ini. Sekarang Mas udah bahagia, dan Mas harap Neng juga bahagia dimanapun Neng berada dan dengan siapapun Neng sekarang. Rasa sayang itu masih akan terus ada, kenangan itu akan terus ada, tapi mas udah memilih jalan Mas sendiri, semoga Neng juga gitu, dan bahagia dengan jalan yang neng pilih itu,’ batin Budi.
“Yaa ampuuun lucunyaa.”
“Astaga, Indaaah. Ih kamu ini ngagetin aja sih Ndah,” teriak Ara karena terkejut tiba-tiba saja Indah berteriak di samping telinganya ketika dia sedang memandangi foto anaknya.
Sebenarnya teriakan Indah tidak terlalu keras, tapi karena Ara yang sedari tadi melamun membuat suara Indah itu benar-benar membuatnya terkejut. Ara hari ini memang tak terlalu fokus bekerja karena anaknya sedang sakit. Meskipun tadi sudah diperiksa dan diberi obat, diberitahu bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dan sekarang juga sudah bersama dengan eyang dan tantenya, namun tetap saja perasaannya sebagai seorang ibu masih begitu mencemaskan sang anak.
Beberapa kali dia menghubungi ibunya untuk menanyakan bagaimana kabar Ardi, dan sedari tadi hanya mendapat kabar kalau Ardi saat ini sedang tertidur setelah tadi sempat sarapan lalu meminum obatnya. Berkali-kali pula Aini menenangkan Ara, memintanya untuk tak terlalu khawatir, bahkan Mila juga sempat mengirimkan foto Ardi yang sedang pulas tertidur, dan dari wajahnya nampak tak sepucat tadi pagi.
Indah yang memang mejanya bersebelahan dengan Ara menjadi penasaran dengan seniornya itu. Tidak biasanya Ara terlihat melamun dan murung seperti itu, Ara biasanya adalah sosok yang ceria dan murah senyum, namun hari ini nampak berbeda. Karena itulah Indah mendekatinya mencoba mencari tahu apa yang terjadi padanya.
“Yaa habisnya Mbak Ara ngelamun terus dari tadi sih, hehe. Emang ada apa sih Mbak kok ngelamun gitu?” tanya Indah.
“Ini Ndah, Ardi lagi sakit, tadi pagi sebelum berangkat ke kantor aku bawa dia ke dokter, kata dokter sih nggak apa-apa cuma demam biasa aja. Ini sebenarnya juga udah sama eyangnya, tapi aku masih aja kepikiran e,” jawab Ara.
“Oalah, lha Mbak Ara kok nggak ijin aja Mbak? Lagian Mbak masuk juga kerjanya nggak konsen gitu kan? Dari tadi Indah lihat mbak banyakan ngelamunnya lho,” ujar Indah.
“Tadinya sih mau nggak masuk Ndah, mau ijin aja. Tapi setelah Ardi diperiksa dan ternyata nggak kenapa-napa, Mbak disuruh masuk aja sama Mas Budi tadi. Lagian sekarang Ardinya juga udah baikan kok, nih tadi dikirimin foto sama Mbak Mila,” jawab Ara sambil menunjukkan foto di ponselnya kepada Indah.
“Mbak Mila siapa Mbak?” tanya Indah, sambil tersenyum melihat foto lucu Ardi yang sedang tertidur.
“Oh kamu belum tahu ya? Mbak Mila itu kakak iparnya Mbak, nih orangnya,” jawab Ara, lalu gantian menunjukkan foto Mila kepada Indah.
“Wah cantiknyaa. Mbak ini sekeluarga ceweknya cantik-cantik ya, hehe,” ucap Indah.
“Bisa aja kamu Ndah, kamu juga nggak kalah cantik gitu kok. Eh udah yuk lanjut kerja lagi, entar ditegur sama Pak Hamid lho,” ujar Ara.
“Ehem, wah kakak adik asyik banget ini kayaknya? Lagi ngerumpiin apa?” belum sempat Indah kembali ke mejanya ternyata Pak Hamid sudah berada disana menegur mereka, membuat kedua wanita ini hanya nyengir kuda saja.
Ara dan Indah ini memang menjadi primadona di kantor ini. Keduanya sama-sama cantik, dan memiliki sifat yang hampir sama. Karena itulah mereka sering dianggap kakak beradik oleh rekan-rekan kerja mereka. Hanya saja Ara yang memang lebih tua usianya terlihat lebih dewasa dan matang, sedangkan Indah masih terlihat sifat manjanya. Meski begitu tetap saja keduanya menjadi pemandangan yang menyegarkan di tengah-tengah kejenuhan teman-temannya dalam bekerja.
“Eh nggak Pak, ini katanya anaknya Mbak Ara lagi sakit, makanya tadi Indah tanya-tanyain bentar,” jawab Indah dengan gaya polosnya.
“Loh Ardi sakit Ra?” tanya Pak Hamid kepada Ara.
“Iya Pak tadi pagi sempat demam, tapi ini udah baikan kok,” jawab Ara.
“Apa kamu mau pulang duluan aja Ra kalau emang Ardinya lagi sakit? Entar kamu lanjutin kerjanya malah nggak konsen lagi,” Pak Hamid memberikan tawaran.
“Nggak Pak nggak apa-apa kok, dia udah ada yang jaga, eyangnya sama tantenya, jadi biar saya lanjutin kerjaan saya aja Pak,” tolak Ara.
“Beneran nih? Yakin bisa konsen?” tanya Pak Hamid memastikan.
“Iya Pak bener deh,” jawab Ara mantap.
“Oh ya udah kalau gitu, tapi kerjanya yang fokus ya. Nanti kalau kamu mau ijin pulang duluan, saya ada di ruangan,” kata Pak Hamid.
“Iya Pak, terima kasih,” jawab Ara sopan.
Pak Hamid pun sempat melihat-lihat anak buahnya yang lain sebentar, sebelum kemudian beranjak meninggalkan mereka menuju ruangannya.
“Ih Mbak Ara gimana sih? Kan udah Indah bantuin biar bisa pulang cepet,” ujar Indah sepeninggal Pak Hamid.
“Hehe nggak deh Ndah, lagian ini kerjaan Mbak juga masih lumayan banyak. Entar aja kalau bisa cepet beres, mbak ngadep Pak Hamid kalau mau pulang duluan,” jawab Ara.
“Ya udah deh kalau gitu. Eh tapi kapan-kapan aku boleh ya main ke tempat Mbak Ara, pengen kenalan sama Ardi nih, di foto kok lucu banget anaknya,” ujar Indah.
“Ya boleh lah, main aja. Kalau weekend kami biasanya di rumah kok. Ya kadang-kadang keluar jalan-jalan atau belanja sih. Kamu kalau mau ke rumah Mbak kabarin dulu aja ya,” ucap Ara.
“Iya deh nanti Indah kabarin Mbak. Emang rumah Mbak di daerah mana sih?” tanya Indah.
“Di perumahan elit ring road utara Ndah, kamu tahu nggak?” tanya Ara.
“Oh disitu? Tahu Mbak, Indah tahu,” jawab Indah.
“Ya udah, kalau mau main kabarin aja, nanti mbak kasih alamat lengkapnya, sama Mbak share lokasinya lewat WhatsApp biar nggak nyasar, hehe,” ucap Ara.
“Oke Mbak.”
Ara memang bersyukur memiliki atasan yang begitu baik kepada semua bawahannya. Sikap dan sifatnya menjadikan para anak buahnya tak hanya menganggap dia sebagai atasan, tapi juga sebagai ayah mereka. Seperti sikap yang baru saja ditunjukkan tadi, memberi Ara kelonggaran untuk bisa pulang karena anaknya sakit. Tapi Ara malah tak enak hati dengan toleransi yang diberikan atasannya itu, karena itulah dia lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaannya saja, lagipula anaknya sekarang sudah lebih baik kondisinya.
Indah pun kemudian kembali ke mejanya untuk melanjutkan pekerjaannya. Begitu pun dengan Ara. Dia mencoba untuk mengumpulkan fokusnya lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya yang cukup banyak hari ini. Tanpa mereka berdua sadari, ada seseorang yang sedari tadi mengamati mereka, memperhatikan kedua wanita paling cantik di kantornya ini. Yang satu seorang ibu muda, yang satu lagi seorang gadis muda yang terlihat masih polos. Memperhatikan kedua wanita cantik itu membuat pemilik sepasang mata itu tersenyum penuh misteri, entah apa yang ada di dalam benaknya.
Pagi itu di sebuah apartemen, terlihat 3 orang sedang berbincang santai. Meskipun begitu ketiganya nampak sudah sangat rapi, siap untuk menjalani aktivitas pekerjaannya. Seorang diantara mereka berperawakan sedang dan dua orang lagi dengan tubuh tinggi besar dan berwajah kaukasia dengan rambut cokelatnya. Meskipun ketiganya nampak akrab namun masih terlihat kedua orang berwajah bule ini cukup menghormati seorang lainnya.
“Dave, Steve, gimana kalian udah bisa bahasa Indonesia kan?”
“Udah boss, asal jangan pakai kata-kata yang aneh-aneh aja,” jawab David, sang kakak.
“Kata-kata yang aneh gimana?” tanya sang boss bingung.
“Ya itu, yang biasa dipakai sama anak muda, bahasa gaul katanya,” jawab David.
“Haha, gaul alias alay. Udah tenang aja, gua nggak se-alay itu juga kok,” ujar sang boss.
“Iya boss, bahasa yang katanya alay itu susah, buat kami jadi bingung,” sahut Steve, sang adik, ditimpali dengan tawa oleh kedua orang lainnya.
“Ya sudahlah, yang penting kalian sudah lancar ngomong pakai bahasa Indonesia. Repot kalau kalian nggak bisa, apa-apa harus aku sendiri yang ngurusin nanti. Kalian tahu sendiri lah nggak semua orang disini bisa bahasa Inggris,” papar sang boss.
“Jadi, mau ada tugas baru lagi boss buat kita?” tanya Steve.
“Nggak Steve, belum. Tapi aku minta kalian siap-siap, minggu depan kita ke Jogja,” ujar sang boss.
“Hmm, jadi udah mau dimulai nih boss?” tanya Steve lagi.
“Yah begitulah. Gua sebenernya nggak begitu tertarik sama hal ini, tapi ini kan perintah dari ayah, jadi ya harus segera kita lakuin,” jawab sang boss.
“Mau langsung frontal atau gimana boss?” tanya David.
“Nggak lah, tetep seperti rencana awal, main cantik,” jawab sang boss.
“Memangnya, orangnya udah ditemui?” tanya Steve.
“Belum sih, tapi gua udah hubungin dia kemarin. Awalnya dia kaget dan nggak percaya, tapi setelah gua kasih tahu rencana itu, dia malah semangat. Dia minta waktu beberapa hari buat ngumpulin orang-orangnya, makanya minggu depan baru kita kesana,” terang sang boss.
“Hmm, well okelah kalau begitu,” ujar David dan Steve hampir bersamaan.
“Oh iya, gimana perangkat-perangkat yang kalian mau? Udah dapet semua?” tanya sang boss.
“Udah boss, sesuai dengan yang kami minta, udah datang semua, udah diinstall juga, it’s all done, everything is set and ready to go,” jawab Steve, terlihat senang.
“Great, welldone. Yang penting lakuin sesuai rencana aja, jangan melenceng, dan nggak usah berimprovisasi. Kita belum tahu seperti apa lawan kita, jadi jangan main-main dengan ini semua,” papar sang boss.
“As your wish boss,” jawab Steve.
Sang boss nampak puas dengan kinerja kedua anak buahnya itu. Semua masih berjalan sesuai dengan apa yang sudah dia rencanakan. Setiap detail tahapan rencananya benar-benar dia pastikan sendiri. Dan dia cukup senang karena memiliki anak buah yang juga memiliki sifat perfeksionis seperti dirinya.
“Good. Ya udah, kita berangkat ke kantor sekarang. Oh iya, nanti jam 4 sore kalian ke bandara ya, jemput seseorang,” perintah sang boss.
“Siapa boss?” tanya Steve.
“Dokter Lee.”
Pembaca setia Kisah Malam, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)
BTW yang mau jadi member VIP kisah malam dan dapat cerita full langsung sampai Tamat.
Info Lebih Lanjut Hubungin di Kontak
No WA Admin : +855 77 344 325 (Tambahkan ke kontak sesuai nomer [Pakai +855])
Terima Kasih 🙂